Seorang muslim yang bertakwa tentu memahami arti keimanan dengan baik, karena untuk mencapai derajat ketakwaan seseorang harus beriman terlebih dahulu sebagaimana salah satu perkataan Allah SWT pada ayat Al Qur’an berikut ini : “Hai orang – orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al Baqarah 183)
Lalu mengapa seseorang harus bertakwa kepada Allah SWT ?
“Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS Ali Imran 123)
Jadi pada intinya Allah SWT menyuruh kaum muslimin beramal shalih setelah beriman adalah dimaksudkan agar kaum muslimin dapat bersyukur kepada-Nya terutama atas nikmat-Nya yang sangat banyak. Maka dari itu kekokohan iman seorang muslim merupakan prasyarat mutlak dalam beramal shalih, agar amal shalih tersebut dapat berbuah ketakwaan kepada Allah SWT.
Definisi iman itu sendiri dapat dilihat pada hadits shahih berikut ini, dari Umar bin Khaththab ra., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya oleh Malaikat Jibril tentang iman yaitu, “Kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab – kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat dan kepada takdir yang baik dan yang buruk” (HR Imam Muslim)
Salah satu cabang keimanan yang utama berdasarkan nash shahih di atas adalah bahwa beriman kepada takdir (qadar) yang Allah SWT telah tetapkan kepada setiap hamba baik itu takdir baik maupun takdir buruk. Firman Allah SWT, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di Bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya” (QS Al Hadid 22)
Dan dari ayat di atas jelas Allah SWT katakan bahwa takdir yang Allah SWT berikan kepada setiap hambanya sudah ditentukan sebelum Allah SWT menciptakan langit dan Bumi sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Allah telah menulis (di Lauhu Mahfuzh) segenap takdir makhluk 50.000 tahun sebelum Ia menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim)
Termasuk apakah ia menjadi ahli surga atau neraka, Allah SWT sudah tentukan 50.000 tahun sebelum alam semesta ini diciptakan. Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra., Rasulullah SAW bersabda, “Maka demi Allah, yang tiada tuhan yang haq disembah melainkan Dia, sesungguhnya seseorang diantara kamu beramal dengan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dia dan surga kecuali sehasta, namun telah terdahulu ketentuan (takdir) Tuhan atasnya, lalu ia mengerjakan perbuatan ahli neraka, maka ia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya salah seorang diantara kamu beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak antara dia dan neraka kecuali sehasta, namun telah terdahulu ketentuan (takdir) Tuhan atasnya, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka ia masuk ke dalamnya” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Pada hadits lain Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang dari kamu melainkan telah dituliskan tempat duduknya, apakah ia termasuk penduduk neraka atau penduduk surga” (HR. Imam Bukhari)
Maka dari itu Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (239 – 321 H) pada kitabnya Al Aqidah Ath Thahawiyah yang diberi ta’liq (komentar) oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan, “Semenjak dahulu kala Allah Ta’ala telah mengetahui berapa jumlah hamba-Nya yang akan masuk surga dan yang akan masuk neraka. Total dari jumlah itu tidak akan bertambah dan tidak akan pula berkurang”
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani memberikan komentar atas ucapan Imam Abu Ja’far Ath Thahawi ini sebagai berikut, “Nampaknya Imam Ath Thahawi merujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru, dia berkata, ‘Pernah suatu ketika Rasulullah SAW keluar menemui kami memegang 2 kitab … Kemudian sambil menunjuk kitab yang ada di tangan kanan, Beliau SAW berkata, Kitab ini berasal dari Tuhan Semesta Alam yang memuat nama – nama penduduk surga yang dilengkapi nama bapak – bapak dan nama – nama kabilah mereka. Kemudian Allah mengumpulkan mereka menjadi satu (dalam kitab ini). Jumlah nama – nama yang ada dalam kitab ini tidak akan bertambah maupun berkurang selama – lamanya … - hadits ini cukup panjang - … (HR. At Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh Imam At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)’”
Namun demikian, tidak ada seorangpun tahu apakah ia menjadi ahli surga atau ahli neraka karena hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui perkara – perkara yang ghaib. Firman Allah SWT, “Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah” (QS An Naml 65)
Artinya walaupun seorang manusia apakah nanti takdirnya masuk ke dalam surga atau ke dalam neraka maka ia sebagai seorang hamba Allah wajib selalu berusaha mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala dan selalu meminta agar dimasukan ke dalam surga-Nya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang – orang yang bertakwa” (QS Al Imran 133)
Dan tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah SWT walaupun hanya sebentar, “Dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir” (QS Yusuf 87)
Juga dengan beriman kepada takdir Allah tidaklah berarti memberikan kesempatan kepada hamba untuk berdalih dengannya dalam meninggalkan perintah Allah atau melanggar apa yang dilarang-Nya. Karena Allah SWT berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu” (QS At Taghabun 16), yang artinya seorang hamba tidak akan dibebani kecuali sebatas kemampuannya. Dan sabda Rasulullah SAW,“Tidaklah salah seorang dari kamu melainkan telah dituliskan tempat duduknya, apakah ia termasuk penduduk neraka atau penduduk surga”.
Maka berkatalah seorang laki – laki dari kaumnya, “TidakKah (dengan demikian) kita berserah diri saja, wahai Rasulullah ?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, tetapi berusahalah ! Karena masing-masing dimudahkan kepada (kententuan) penciptaannya” (HR. Imam Bukhari)
Akhirnya dapat difahami bahwa hakekat takdir adalah rahasia Allah Ta’ala yang telah ditentukan atas hambanya sebelum Allah SWT menciptakan seluruh isi langit dan Bumi dan sebagai manusia maka wajib bagi kita untuk selalu berusaha mencapai ketakwaan kepada Allah SWT, karena pada hakekatnya Allah SWT tidak membebani kewajiban yang mana kita tidak sanggup untuk memikulnya.
Dan takdir itu sendiri tidaklah diketahui oleh malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun oleh Nabi yang diutus karena Allah SWT telah menutup ilmu takdir dari makhluk – makhluk-Nya sebagaimana firman Allah SWT dalam kitab-Nya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (Al Anbiya’ 23)
Sumber : disusun oleh oleh : Abu Tauam Al Khalafy, dari berbagai sumber :
Lalu mengapa seseorang harus bertakwa kepada Allah SWT ?
“Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS Ali Imran 123)
Jadi pada intinya Allah SWT menyuruh kaum muslimin beramal shalih setelah beriman adalah dimaksudkan agar kaum muslimin dapat bersyukur kepada-Nya terutama atas nikmat-Nya yang sangat banyak. Maka dari itu kekokohan iman seorang muslim merupakan prasyarat mutlak dalam beramal shalih, agar amal shalih tersebut dapat berbuah ketakwaan kepada Allah SWT.
Definisi iman itu sendiri dapat dilihat pada hadits shahih berikut ini, dari Umar bin Khaththab ra., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya oleh Malaikat Jibril tentang iman yaitu, “Kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab – kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat dan kepada takdir yang baik dan yang buruk” (HR Imam Muslim)
Salah satu cabang keimanan yang utama berdasarkan nash shahih di atas adalah bahwa beriman kepada takdir (qadar) yang Allah SWT telah tetapkan kepada setiap hamba baik itu takdir baik maupun takdir buruk. Firman Allah SWT, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di Bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya” (QS Al Hadid 22)
Dan dari ayat di atas jelas Allah SWT katakan bahwa takdir yang Allah SWT berikan kepada setiap hambanya sudah ditentukan sebelum Allah SWT menciptakan langit dan Bumi sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Allah telah menulis (di Lauhu Mahfuzh) segenap takdir makhluk 50.000 tahun sebelum Ia menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim)
Termasuk apakah ia menjadi ahli surga atau neraka, Allah SWT sudah tentukan 50.000 tahun sebelum alam semesta ini diciptakan. Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra., Rasulullah SAW bersabda, “Maka demi Allah, yang tiada tuhan yang haq disembah melainkan Dia, sesungguhnya seseorang diantara kamu beramal dengan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dia dan surga kecuali sehasta, namun telah terdahulu ketentuan (takdir) Tuhan atasnya, lalu ia mengerjakan perbuatan ahli neraka, maka ia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya salah seorang diantara kamu beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak antara dia dan neraka kecuali sehasta, namun telah terdahulu ketentuan (takdir) Tuhan atasnya, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka ia masuk ke dalamnya” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Pada hadits lain Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang dari kamu melainkan telah dituliskan tempat duduknya, apakah ia termasuk penduduk neraka atau penduduk surga” (HR. Imam Bukhari)
Maka dari itu Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (239 – 321 H) pada kitabnya Al Aqidah Ath Thahawiyah yang diberi ta’liq (komentar) oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan, “Semenjak dahulu kala Allah Ta’ala telah mengetahui berapa jumlah hamba-Nya yang akan masuk surga dan yang akan masuk neraka. Total dari jumlah itu tidak akan bertambah dan tidak akan pula berkurang”
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani memberikan komentar atas ucapan Imam Abu Ja’far Ath Thahawi ini sebagai berikut, “Nampaknya Imam Ath Thahawi merujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru, dia berkata, ‘Pernah suatu ketika Rasulullah SAW keluar menemui kami memegang 2 kitab … Kemudian sambil menunjuk kitab yang ada di tangan kanan, Beliau SAW berkata, Kitab ini berasal dari Tuhan Semesta Alam yang memuat nama – nama penduduk surga yang dilengkapi nama bapak – bapak dan nama – nama kabilah mereka. Kemudian Allah mengumpulkan mereka menjadi satu (dalam kitab ini). Jumlah nama – nama yang ada dalam kitab ini tidak akan bertambah maupun berkurang selama – lamanya … - hadits ini cukup panjang - … (HR. At Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh Imam At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)’”
Namun demikian, tidak ada seorangpun tahu apakah ia menjadi ahli surga atau ahli neraka karena hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui perkara – perkara yang ghaib. Firman Allah SWT, “Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah” (QS An Naml 65)
Artinya walaupun seorang manusia apakah nanti takdirnya masuk ke dalam surga atau ke dalam neraka maka ia sebagai seorang hamba Allah wajib selalu berusaha mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala dan selalu meminta agar dimasukan ke dalam surga-Nya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang – orang yang bertakwa” (QS Al Imran 133)
Dan tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah SWT walaupun hanya sebentar, “Dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir” (QS Yusuf 87)
Juga dengan beriman kepada takdir Allah tidaklah berarti memberikan kesempatan kepada hamba untuk berdalih dengannya dalam meninggalkan perintah Allah atau melanggar apa yang dilarang-Nya. Karena Allah SWT berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu” (QS At Taghabun 16), yang artinya seorang hamba tidak akan dibebani kecuali sebatas kemampuannya. Dan sabda Rasulullah SAW,“Tidaklah salah seorang dari kamu melainkan telah dituliskan tempat duduknya, apakah ia termasuk penduduk neraka atau penduduk surga”.
Maka berkatalah seorang laki – laki dari kaumnya, “TidakKah (dengan demikian) kita berserah diri saja, wahai Rasulullah ?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, tetapi berusahalah ! Karena masing-masing dimudahkan kepada (kententuan) penciptaannya” (HR. Imam Bukhari)
Akhirnya dapat difahami bahwa hakekat takdir adalah rahasia Allah Ta’ala yang telah ditentukan atas hambanya sebelum Allah SWT menciptakan seluruh isi langit dan Bumi dan sebagai manusia maka wajib bagi kita untuk selalu berusaha mencapai ketakwaan kepada Allah SWT, karena pada hakekatnya Allah SWT tidak membebani kewajiban yang mana kita tidak sanggup untuk memikulnya.
Dan takdir itu sendiri tidaklah diketahui oleh malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun oleh Nabi yang diutus karena Allah SWT telah menutup ilmu takdir dari makhluk – makhluk-Nya sebagaimana firman Allah SWT dalam kitab-Nya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (Al Anbiya’ 23)
Sumber : disusun oleh oleh : Abu Tauam Al Khalafy, dari berbagai sumber :
- 40 Hadits Shahih, Imam An Nawawi, Direktorat Percetakan dan Penerbitan Departemen Agama Saudi Arabia, 1422 H.
- Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, ta’liq oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, At Tibyan, Solo, Edisi Indonesia, November 2000 M.
- Aqidah Thahawiyah, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, ta’liq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Media Hidayah, Cetakan Pertama, Mei 2005 M
- Tauhid, Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdul Lathif. Direktorat Percetakan dan Penerbitan Departemen Agama Saudi Arabia, 1422 H
Posting Komentar