Orang-orang Yang Didoakan Oleh Para Malaikat

Inilah orang – orang yang didoakan oleh para malaikat :

1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci”.

(Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)


2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’”

(Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469)


3. Orang – orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada shaf – shaf terdepan”

(Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)


4. Orang – orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang – orang yang menyambung shaf – shaf”

(Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)


5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu”.

(Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)


6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia”

(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)


7. Orang – orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah.
Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’”

(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)


8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Rasulullah SAW bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’”

(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., Shahih Muslim no. 2733)


9. Orang – orang yang berinfak.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’”

(Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)


10. Orang yang sedang makan sahur.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang – orang yang sedang makan sahur”

(Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)


11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh”

(Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, “Sanadnya shahih”)

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain”

(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)

Sumber Tulisan Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi (Orang – orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005
Read On 0 komentar

Benarkah Orang Baik Belum Tentu Masuk Surga ?

Apakah Bunda Theresa yang sepanjang usia nya dibaktikan untuk umat miskin India harus masuk neraka ? Apakah Paus Paulus II yang pernah menjamu calon pembunuhnya dengan baik hingga si calon pembunuhpun membatalkan rencana pembunuhan tersebut juga tak pantas masuk surga ? Apakah Mahatma Gandi yang secara lembut, sabar dan selalu menggunakan jalan damai untuk membela kemerdekaan rakyat India juga harus masuk neraka ? Bagaimana pula dengan sebagian dari milyaran umat manusia non Islam yang baik hati, apakah mereka harus masuk neraka dibanding sebagian dari milyaran umat Islam tapi buruk perilakunya ?

Apakah Akhlak Menentukan Seseorang Masuk Surga atau Tidak ?

Ada satu jawaban yang singkat, jelas dan tegas untuk pertanyaan tersebut yaitu, “kalau memang akhlak dijadikan patokan oleh Tuhan untuk menentukan pantas tidaknya seseorang masuk surga, maka agama tidak diperlukan lagi di muka bumi ini”
Kalau memang akhlak kriteria utama menentukan masuk surga atau tidaknya seseorang, maka untuk apa lagi agama, karena tanpa agama saja orang bisa berbuat baik. Di negeri atheis seperti di Rusia, China, atau di negeri sekuler seperti Eropa dan Amerika, ditemukan banyak orang yang tak beragama tapi memiliki akhlak yang luar biasa baiknya. Tidak usah jauh-jauh, pasti kita sering menemukan diantara teman atau tetangga kita akhlaknya sangat baik, ia mengaku punya agama tapi tak pernah sholat atau ke gereja, tapi nyatanya akhlaknya lebih baik dari umat Islam yang rajin beribadah.

Sifat baik adalah fitrah yang diberikan Allah sejak kita didalam kandungan. Fitrah (sifat-sifat baik) adalah kecenderungan manusia untuk berbuat kebaikan, seperti halnya binatang buas diberi Allah kecenderungan untuk bersifat buas, mereka akan tetap buas walaupun manusia berusaha menjinakkannya. Hawa nafsu dan pilihan manusia sendiri yang membuat seorang manusia menjadi jahat dan berperilaku buruk.

Dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya. Dan sesungguhnya mereka didatangi oleh setan yang menyebabkan mereka tersesat dari agama mereka” (HR Muslim).
Allah menganugerahi manusia kesempatan untuk memilih yang baik atau yang buruk sesuai firman Allah : “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS, Al-Balad 90 : 10). “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS, Al-Insaan 76 : 3).
Kemudian setan berusaha mengaburkan jalan yang benar sehingga jalan yang baik oleh manusia dikira sesat, dan jalan yang sesat dikira benar. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat Al Baqarah 2 : 216) : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Namun tujuan tulisan ini sama sekali bukan untuk menyatakan bahwa akhlak yang baik tidak penting, atau menjadi muslim yang berperilaku buruk lebih baik daripada non-Islam yang baik hati. Tujuan tulian ini agar kita menyadari bahwa Tuhan tidak menuntut dari manusia sekedar akhlak yang baik, tapi juga ada hal lain yang lebih utama dibanding akhlak.

Bahkan Akhlak Seorang Muslim Yang Baik Sekalipun Tidak Cukup Untuk Membuatnya Masuk Surga.

Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu ?" Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya". Lalu anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?" Nabi SAW sangat terharu mendengarnya, sambil memeluk anak muda itu ia berkata : "Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan oleh pengorbanan dan kebaikanmu". Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita terhadap anaknya. Kita merasa sudah cukup, tapi dalam perhitungan Allah nilai jasa kedua orang tua pada anaknya jauh lebih besar nilainya dari yang dibayangkan manusia. Pasti ada sesuatu perbuatan lain yang harus kita lakukan untuk memperbanyak balas budi kita pada kedua orang tua kita. Diantaranya dengan cara menjadi anak yang sholeh dan selalu mendoakan kedua orangtua kita.

Untuk membalas budi kedua orang tua saja kita tidak akan pernah sanggup, apalagi membalas kebaikan Tuhan yang mengkaruniakan kita fitrah kasih sayang pada kedua orang tua kita, yang mengkaruniakan kita mata yang mampu melihat, telinga yang mampu mendengar, lidah yang mampu merasakan kelezatan makanan, yang telah mengkaruniakan kita udara secara gratis.

Ada perspektif yang sama antara hadits tersebut barusan dengan hadits berikut ini. Rasulullah SAW pernah berkata, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh sayapun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?” . Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”. Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah. Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Apa makna dari kedua hadits tersebut diatas ? Yaitu bahwa perbuatan baik (akhlak) dan ibadah kita ternyata tidak mampu untuk mendapatkan tiket ke surga. Hanya karena rahmat-Nya lah kita bisa ke surga. Akhlak dan amal ibadah juga tidak cukup menjamin kita terbebas dari api neraka, hanya ampunan-Nya lah yang bisa membuat kita terbebas dari api neraka. Karena itu kita diminta banyak memohon rahmat dan ampunan Allah.

Pertanyaan berikutnya (dikaitkan dengan judul tulisan ini) adalah apa syaratnya agar doa kita untuk memohon rahmat dan memohon ampunan Allah bisa diterima ?
Tidak semua orang diberi rahmat surga, dan tidak semua orang diberi ampunan dari ancaman neraka. Karena itu Allah menentukan syarat utamanya adalah beriman kepada-Nya dan rasul-Nya (melalui syahadat). Ia harus memiliki aqidah yang benar, memahami siapa Tuhan yang disembahnya dengan benar, apa yang dimaui-Nya, bagaimana cara mencintai-Nya. Inilah syarat utama agar permohonan rahmat dan ampunan kita bisa diterima.

Apakah Benar Anggapan Bahwa Sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang Akan Membuat Allah Tidak Mungkin (Tega) Menghukum Orang Yang Baik Hati ?

Di akhirat kelak orang yang tidak beriman kepada Allah akan membawa amal kebaikannya ke hadapan Allah, tapi kemudian Allah tidak menerimanya, seperti tersebut dalam Al Qur’an surat Al Furqan ayat 23, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”.

Ibarat seorang pembantu yang bekerja keras pada majikannya, setiap hari ia bangun pagi membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyapu halaman, menjaga keselamatan anak majikan selama majikan bekerja diluar. Namun sang pembantu yang rajin ini ternyata tidak sopan dalam kata dan perilaku, Sang pembantu tidak mau berusaha memperbaiki sikapnya ini pada atasannya, karena ia mempunyai pendapat sendiri tak mungkin majikan akan memecatnya karena ia sudah bekerja sangat keras dan merawat anak-anak majikannya dengan baik. Ia tidak juga berusaha mencari tahu apa yang diinginkan sang majikan. Padahal jelas sang majikan sudah menulis tatatertib dan uraian kerja pembantu rumah tangga, diantaranya disebutkan bahwa kesopanan adalah syarat terpenting bekerja di rumah majikan tersebut. Bahkan terkadang ia sombong dan keras hati serta menyimpulkan sendiri bahwa sebagai orang yang berintelektual tinggi seharusnya majikannya bisa menerima kekurangan sang pembantu. Iapun kaget ketika di akhir bulan, sang majikan memecatnya dengan alasan tidak sopan. Ia protes tapi majikannya punya hak.

Analogi sederhana ini, menyiratkan bahwa agar doa, ampunan, amal dan ibadah kita bisa diterima Allah hendaknya kita mengenal Allah secara baik, melalui perenungan dan makrifatullah. Kitapun sebagai hamba Allah perlu mencari tahu apa sebenarnya syarat utama yang diinginkan Allah agar segala amal ibadah dan akhlak baik kita diterima Allah. Tidak susah mengenal Allah karena karya-Nya ada disekeliling kita, yaitu alam semesta ini, bahkan Ia telah memperkenalkan diri-Nya pada manusia melalui kitab-kitab suci dan ajaran nabi-Nya. Dengan mengenal allah secara baik kita akan tahu bahwa Allah sangatlah penyayang, demikian sabar dengan kelemahan manusia, terlalu banyak kesalahan kita yang dimaafkan-Nya, bahkan kita akan tahu bahwa terlalu berlebihan kalau keimanan, amal ibadah dan kebaikan kita dibalas dengan surga yang luar biasa nikmatnya. Dengan hati yang bersih dan ilmu yang cukup juga akan memudahkan kita memahami mengapa Allah mengancam orang-orang tidak beriman dan yang buruk akhlaknya dengan neraka.

Memahami Allah dengan menggunakan kemampuan akal manusia adalah sia-sia, karena hakikat sifat-sifat Allah tidak dicerna oleh akal manusia, tapi oleh hati manusia. Hati manusia akan membantu kita memahami Allah, karena didalam hati bersemayam fitrah manusia yang salah satunya memiliki sifat-sifat cinta kepada Allah. Hatipun perlu dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran (sifat sombong, dengki, kikir, dsbnya) agar fitrah manusia bisa diaktifkan untuk memahami sifat-sifat Allah dengan baik.

Tanpa Mengenal Sifat Allah Dengan Baik Maka Sia-sialah Akhlak Baik, Amal dan Ibadah Kita

Melalui pengenalan yang baik terhadap Allah melalui cara-cara yang diatur dalam Qur’an dan hadits, akan kita temukan bahwa Allah mensyaratkan aqidah Islam yang benar sebelum segala amal ibadahnya diterima.

Aqidah adalah hal yang pokok yang membedakan Islam dengan agama lainnya. Aqidah adalah fondasi bangunan seorang umat Muslim, sedang ibadah (syariah) adalah dinding bangunan seorang Muslim, lalu akhlak adalah atapnya. Tanpa fondasi maka ia pun tidak bisa mendirikan bangunan diri seorang Muslim, tanpa aqidah yang benar dan lurus iapun tidak pantas disebut seorang Muslim. Tanpa ibadah yang sesuai syariah Islam, iapun belum sempurna untuk dikatakan sebagai sebuah bangunan yang bernama Muslim. Demikian pula, tanpa Atap yang bernama akhlak, bangunan yang bernama Muslim ini belum utuh dan akan mudah rusak oleh hujan dan panas. Muslim yang baik wajib memiliki ketiga syarat ini (aqidah, ibadah dan akhlak) secara lengkap, tidak kurang satupun, dan harus sempurna. Bila aqidahnya salah, maka kekal lah ia di neraka, bila ibadah dan akhlak buruk maka ia ‘mungkin’ masih berpeluang masuk surga setelah di’cuci’ dulu di neraka. Semoga kita tidak termasuk sebagai orang yang di’cuci’ dulu, apalagi kekal, di neraka. Mumpung kita masih hidup di dunia ini, semoga kita diberi ilmu oleh Allah SWT mengenai kedahsyatan akhirat dan neraka, supaya kita tidak menggampangkan diri untuk menganggap bahwa di’cuci’ di neraka adalah bukan masalah besar. Tidak untuk sedetikpun ! Naudzu billah min dzalik.

Aqidah adalah apa yang diyakini seseorang, bebas dari keraguan. Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Aqidah Islam merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin, dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Untuk memperoleh aqidah yang lurus kita perlu mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah dan apa-apa yang disukai dan dibenci Allah. Tanpa aqidah yang lurus maka amal ibadah kita tidak diterima-Nya. Salah satu hal yang paling dibenci Allah SWT adalah syirik, yaitu mensejajarkan diri-Nya dengan makhluk atau benda ciptaan-Nya. Allah berfirman, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang yang merugi” (QS, Az-Zumar: 65).

Aqidah adalah tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil, dan tidak ada medan ijtihad atau berpendapat didalamnya. Sumbernya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab tidak ada yang lebih mengetahui tentang sifat-sifat Allah selain Allah sendiri. Aqidah Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan ta’at kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari akhir, taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang Prinsip-Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.

Begitu pentingnya aqidah dalam Islam, sehingga pelurusan aqidah adalah dakwah yang pertama-tama dilakukan para rasul Allah, setelah itu baru mereka mengajarkan perintah agama (syariat) yang lain. Didalam Al Qur’an, surat Al-A’raf ayat 59, 65, 73 dan 85, tertulis beberapa kali ajakan para nabi, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain-Nya”. Dengan demikian ilmu Tauhid sebagai ilmu yang menjelaskan aqidah yang lurus, merupakan ilmu pokok yang harus dipahami sebaik mungkin oleh setiap umat Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan terbenam dalam keraguan dan berbagai prasangka, yang lama kelamaan akan menutup pandangannya dan menjauhkannya dari jalan hidup kebahagiaan. Tanpa aqidah yang lurus seseorang akan mudah dipengaruhi dan dibuat ragu oleh berbagai informasi yang menyesatkan keimanan kita.

Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber : tulisan oleh Abdillah M.U & diedit sedikit oleh Penjaga Kebun.
Read On 0 komentar

Memahami Makna dan Pentingnya Aqidah serta Sebab-sebab Penyimpangan Aqidah

Arti Aqidah

 Aqidah adalah apa yang diyakini seseorang, bebas dari keraguan.
 Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
 Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.

Aqidah Islam

 Aqidah Islam merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin, dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Untuk memperoleh aqidah yang lurus kita perlu mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah dan apa-apa yang disukai dan dibenci Allah. Tanpa aqidah yang lurus maka amal ibadah kita tidak diterima-Nya. Salah satu hal yang paling dibenci Allah SWT adalah syirik, yaitu mensejajarkan diri-Nya dengan makhluk atau benda ciptaan-Nya. Allah berfirman, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang yang merugi” (QS, Az-Zumar: 65).
 Aqidah adalah tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil, dan tidak ada medan ijtihad atau berpendapat didalamnya. Sumbernya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab tidak ada yang lebih mengetahui tentang sifat-sifat Allah selain Allah sendiri.
 Aqidah Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan ta’at kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari akhir, taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang Prinsip-Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.

Pentingnya Aqidah Yang Lurus (Aqidah Shahihah)

 Begitu pentingnya aqidah dalam Islam, sehingga pelurusan aqidah adalah dakwah yang pertama-tama dilakukan para rasul Allah, setelah itu baru mereka mengajarkan perintah agama (syariat) yang lain. Didalam Al Qur’an, surat Al-A’raf ayat 59, 65, 73 dan 85, tertulis beberapa kali ajakan para nabi, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain-Nya”. Dengan demikian ilmu Tauhid sebagai ilmu yang menjelaskan aqidah yang lurus, merupakan ilmu pokok yang harus dipahami sebaik mungkin oleh setiap umat Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya.
 Tanpa aqidah yang benar seseorang akan terbenam dalam keraguan dan berbagai prasangka, yang lama kelamaan akan menutup pandangannya dan menjauhkannya dari jalan hidup kebahagiaan.
 Tanpa aqidah yang lurus seseorang akan mudah dipengaruhi dan dibuat ragu oleh berbagai informasi yang menyesatkan keimanan kita.

Sebab-sebab Penyimpangan dari Aqidah Shahihah

1. Kebodohan, karena tidak ada kemauan (dan enggan) untuk mempelajarinya, sehingga ia tidak bisa mengenal mana yang benar mana yang salah menurut aqidah Islam. Dalam kehidupan ini manusia belajar memahami arti kebaikan (haq) dan keburukan (bathil) dari berbagai sumber, baik dari sumber syariah Islam, dari pergaulan serta dari kesepakatan umum antar manusia mengenai akhlak (karena sebagian kebaikan memang sudah ada dalam diri manusia sebagai fitrah). Namun kebenaran yang mutlak (haq) bersumber dari Allah (syariah Islam), sedang yang bersumber dari manusia dibatasi akal dan kepentingan manusia. Akal manusia terbatas, karena itu tidak mampu memahami secara baik mengapa babi diharamkan. Demikian juga kepentingan manusia dibatasi nafsunya, misalnya pendapat kaum liberal bahwa perzinahan dibolehkan asal mau sama mau. Keterbatasan manusia ini jelas difirmankan Allah SWT dalam Al Qur’an, surat Al Baqarah ayat 216, “. . . Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” .

2. Fanatik (ta’ashshub) kepada sesuatu yang diwarisi orang tua atau nenek moyang kita (tradisi), sekalipun hal itu bathil, atau menolak yang bertentangan dengan tradisi sekalipun itu benar. Ketahuilah bahwa ketentuan dalam syariah Islam tidak pernah berubah, sedang kehidupan dan ilmu manusia bisa berubah dari waktu ke waktu. Karena itu hendaknya kita secara langsung belajar dan berpedoman pada Qur’an dan Hadits, tidak sekedar mengikut kebiasaan yang ada tanpa memahami ilmunya. Disinilah pentingnya mempelajari agama Islam secara benar untuk meluruskan aqidah maupun syariatnya agar kita tidak sekedar melakukan ibadah sesuai tradisi (kebiasaan) yang kita terima di keluarga kita atau di lingkungan kita. Bisa jadi tradisi (kebiasaan) itu menyimpangkan ilmu akibat membiasnya proses penyampaian atau penerimaan ilmu, bisa jadi pula karena orang tua atau kakek kita belajar dari sumber yang salah, atau bisa jadi pula karena terbatasnya waktu pendidik kita (orang tua atau guru sekolah) kita dalam menyampaikan ilmu agama secara lengkap.

3. Taqlid (mengikuti) secara buta, yaitu mengikuti pendapat manusia tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenaran dalil yang ia gunakan. Bila ia mengikuti suatu imam atau ajaran yang sesat tanpa mau menyelidikinya, maka jadilah ia penganut paham yang sesat.

4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali atau orang-orang yang shalih, bahkan mengangkat derajat mereka dibanding manusia lainnya. Termasuk diantara mereka misalnya orang yang meminta sesuatu melalui ziarah kubur kepada para wali, atau mengikuti ajaran seorang shaleh panutannya sambil menolak atau meremehkan ajaran dari orang sholeh lainnya.

5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan terhadap kebesaran dan sifat-sifat Allah di alam jagad raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan yang tertuang dalam Kitab-Nya (Qur’aniyah). Mereka lebih kagum pada hasil karya manusia, teknologi, seni dan kebudayaan ciptaan manusia. Bahkan mereka menganggap keunggulan dan keindahan karya manusia itu memang hasil kreasi manusia semata tanpa campur tangan Allah. Ingatlah firman Allah, “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS, As-Shaffat:96)

6. Rumah tangga (keluarga) yang hampa dari ajaran Islam, yaitu para orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan agama Islam bagi anak-anaknya. Padahal orang tua mempunyai peranan terbesar dalam menentukan lurus tidaknya jalan hidup anaknya berdasarkan syariah Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanya lah yang kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Al-Bukhari).

7. Godaan lingkungan, yaitu berupa godaan cara dan gaya hidup yang menggunakan nilai-nilai kebaikan yang tidak sesuai syariah Islam, termasuk dalam hal ini godaan gaya hidup maksiat yang menurut standard bangsa barat yang liberal dipandang sebagai hal yang normal. Umat yang lemah iman dan ilmunya melihat hal ini wajar-wajar saja dan tidak berbahaya, sedang ajaran Islam telah menentukan dengan jelas mana yang benar (haq) dan mana yang salah (bathil). Sebagai contoh, di kolam renang pria dan wanita dengan pakaian yang hanya menutup paha atas dan (hingga) dada sudah dianggap wajar dan sopan menurut masyarakat masa kini, tapi tidak menurut Islam. Contoh lain, sebagian umat Islam yang awam menganggap mengucapkan selamat hari raya agama lain dianggap wajar dan menunjukkan sikap baik karena menghormati toleransi beragama, padahal berbagai dalil Qur’an dan Hadits telah melarangnya, dan keharamannya ditegaskan pula dalam fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Secara sosial, nilai-nilai barat seperti demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang diadopsi dari pemikir barat lebih mudah diterima (bahkan dipaksakan) pada semua lintas agama dan lintas bangsa. Namun kalau diteliti, nilai-nilai kebaikan tersebut berbahaya dalam jangka panjang apalagi menurut syariah Islam. Dalam situasi dunia yang dikuasai barat, maka umat Islam ditekan secara halus maupun kasar untuk menerapkan demokrasi dan HAM ala barat dengan cara tekanan ekonomi, tekanan politik, tekanan kekuatan angkatan perang mereka, dan bahkan di dalam negeri sendiri media massanya banyak yang sudah sejalan dengan pemikiran liberal mereka.

Kekuatan Aqidah Yang Lurus

Aqidah yang lurus akan menjadi benteng yang kuat untuk menolak berbagai godaan dunia, penyimpangan paham, bid’ah (ajaran baru) dan aliran sesat dari Islam. Kita akan tampil kuat dan percaya diri (yakin penuh pada ajaran Islam) di tengah godaan kehidupan dunia dan godaan ajaran yang menyesatkan di sekeliling kita.

Aqidah yang lurus juga akan menambah kecintaan kita pada Allah SWT dan takut men-zhalimi Allah SWT, yang mana akhirnya akan menambah kekhusyu’an kita dalam beribadah. Dengan menguatkan aqidah maka kita dapat mencintai Allah secara benar, mengharapkan-Nya secara benar dan takut pada-Nya secara benar pula. Kita mencintai Allah (Muhabbah) karena sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Lembut, Maha Sabar, Maha Suci dan Maha Adil. Kita juga selalu mengharapkan-Nya (Raja’), karena kita tahu sifat-Nya yang Maha Pengampun, Maha Mengabulkan, Maha Pembalas Jasa, Maha Pemberi Rizki dan Maha Penolong. Kita juga merasa takut (Khauf) untuk melakukan dosa, karena kita tahu sifat-sifat Allah yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Mendengar, Maha Pembalas, Maha Pembuat Perhitungan dan Maha Menetapkan Hukum.


(Sumber tulisan dari : Kitab Tauhid, jilid 1, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Penerbit Darul Haq, dan Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa)
Read On 0 komentar

Menjaga Kemurnian Iman

"Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat ketentraman dan mereka itulah orang-orang yang menepati jalan hidayah." (Al-An'am: 82).

Banyak orang yang menganggap dan mengaku dirinya beriman, akan tetapi di samping itu, dia juga melakukan hal-hal yang mengeruhkan keimanannya itu, atau bahkan sampai menggugurkan iman itu sendiri. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor; di antaranya, karena kebodohan mereka, atau mungkin karena kesombongan dan keangkuhan mereka sehingga mereka tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan pada mereka. Padahal, dalam masalah keimanan dan tauhid, kebodohan tidak dapat dijadikan udzur (alasan). Jadi, seseorang tidak bisa beralasan dengan kebodohan (ketidaktahuan)nya ketika salah dalam masalah iman dan tauhid ini. Dan salah dalam masalah ini akan berakibat fatal. Masalah keimanan dan tauhid ini adalah masalah yang sangat prinsip bagi seorang muslim, yang merupakan dasar dan pondasi baginya, yang menentukan kuat tidaknya bangunan yang dibangun di atas pondasi itu. Tetapi, justru kebanyakan manusia bodoh dalam hal ini, sehingga sadar atau tidak sadar mereka sering menodai keimanan mereka itu. Maka, tidak perlu diherankan jika ada tokoh agama, yang konon luas wawasan agamanya kemudian sembrono dalam mengambil sikap yang justru jelas-jelas bertentangan dengan agama. Seakan-akan dia adalah orang yang sama sekali tidak mengenal agama. Mengapa demikian? Hal itu di antaranya adalah karena pondasi, dasar pijakannya tidak kuat. Pondasi yang dimaksud adalah akidah.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman', kami (para sahabat) berkata, 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukan seperti yang kamu katakan, mereka tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman, tetapi dengan kemusyrikan. Bukankah kamu telah memperhatikan perkataan Luqman kepada anaknya?, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya, mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar' (Luqman: 13)'."

Kedzaliman yang dimaksud dalam ayat di atas adalah syirik. Meskipun sebagian kedzaliman pada diri sendiri juga bisa termasuk dalam kesyirikan ini. Jadi, orang yang beriman, yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang berhak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk.

Padahal, sangat sedikit sekali orang yang benar-benar murni imannya, bersih dan tidak ternodai dengan kotoran syirik. Hal ini seharusnya memberikan dorongan kepada kita agar berhati-hati jangan sampai kita terjerumus ke dalam jurang kesyirikan, yang apabila keimanan kita ternodai dengannya, maka ketenteraman dan petunjuk yang kita harapkan (surga) tidak akan kita dapatkan, dan justru sebaliknya, kita akan mendapatkan kecelakaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan (di neraka). Na'udzubillah min dzalik.

Allah berfirman, "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106). Ini menjelaskan bahwa tauhid (iman) dan syirik, keduanya tidak akan mungkin pernah bersatu di hati seseorang. Karena keduanya bertentangan. Jika beriman, maka harus menghilangkan dan membuang jauh-jauh kesyirikan. Jika seseorang melakukan kesyirikan (syirik besar), secara langsung keimanan akan luntur dan batal.

Adapun hal-hal yang termasuk perbuatan syirik sangatlah banyak. Yang semua itu intinya adalah mempersekutukan Allah, atau menjadikan tandingan untuk Allah. Syirik besar yang sangat jelas adalah percaya pada Tuhan selain Allah Swt sesuai ajaran Islam, termasuk disini adalah seseorang yang menganut agama selain Islam. Syirik besar lainnya adalah orang yang mengaku Islam tapi masih percaya pada ramalan dukun atau ramalan nasib dan tahayul atau pada tradisi tertentu untuk mendapatkan ketentraman batin atau kesuksesan. Yang dimaksud dengan syirik kecil adalah jika seorang hamba mendzalimi dirinya sendiri, seperti bakhil (kikir) dalam sebagian kewajiban karena cinta kepada dunia atau mengutamakan rapat sehingga menunda sholat wajib, maka itu adalah syirik kecil. Juga, kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai Allah sehingga mendahulukan hawa nafsunya atas kecintaannya kepada Allah dan sebagainya. Maka, orang seperti ini akan kehilangan petunjuk, tergantung pada tingkat kesyirikannya.

Terkadang pula seseorang melakukan suatu perbuatan yang dia yakini bahwa perbuatan itu adalah benar karena dia melakukannya tanpa petunjuk (dalil), hanya karena persangkaan atau karena ikut-ikutan, padahal perbuatannya itu adalah termasuk kesyirikan. Maka, terhapuslah amalan yang dia lakukan itu atau semua amalnya, dan akhirnya, dia akan menanggung beban yang teramat sangat berat di hadapan Allah. Sebab, syirik adalah merupakan dosa besar yang paling besar. Dan tidak akan diampuni apabila tidak bertobat sebelum nyawa sampai di tenggorokan.

Kendati demikian, idealnya kita harus berusaha sekuat tenaga dan semampu kita untuk meninggalkan segala macam dosa. Karena, para ulama' mengategorikan segala macam dosa ke dalam kedzaliman. Baik itu dzalim kepada diri sendiri, atau dzalim kepada orang lain. Adapun kedzaliman yang paling besar adalah kedzaliman dalam masalah tauhid, yaitu kedzaliman seorang hamba kepada Allah swt. Yang disebut dengan dosa itu adalah bersumber dari dua hal; meninggalkan perintah, atau mengerjakan larangan. Dan dari semua itu, perkara yang paling besar adalah yang berkaitan dengan iman dan tauhid. Perintah yang paling utama adalah tauhid, dan larangan yang paling besar adalah syirik.

Ya Allah, lindungilah kami dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu, sedangkan kami mengetahuinya. Dan ampunilah kami, terhadap suatu kesyirikan yang kami tidak mengetahuinya. (Zen).


Sumber tulisan : Zen, dari suatu tulisan di internet yang tidak tercatat sumbernya
Read On 0 komentar

Sebab-sebab Naik-turunnya Iman dan Cara Meningkatkan Keimanan

CARA MENAIKKAN KADAR IMAN :

1. Pelajarilah berbagai ilmu agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits

a. Perbanyaklah membaca Al-Qur’an dan renungkan maknanya
Ayat-ayat Al-Qur’an memiliki target yang luas dan spesifik sesuai kebutuhan masing-masing orang yang sedang mencari atau memuliakan Tuhannya. Sebagian ayat Al-Qur’an mampu menggetarkan kulit seseorang yang sedang mencari kemuliaan Allah, dilain pihak Al-Qur’an mampu membuat menangis seorang pendosa, atau membuat tenang seorang pencari ketenangan.
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS, Shaad 38:29)
”Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian.” (QS, al-Israa’ 17:82)

b. Pelajarilah ilmu mengenai Asma’ul Husna, Sifat-sifat Yang Maha Agung.
Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka ia akan menahan lidahnya, anggota tubuhnya dan gerakan hatinya dari apapun yang tidak disukai Allah.
Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Indah, Maha Agung dan Maha Perkasa, maka semakin besarlah keinginannya untuk bertemu Allah di hari akhirat sehingga iapun secara cermat memenuhi berbagai persyaratan yang diminta Allah untuk bisa bertemu dengan-Nya (yaitu dengan memperbanyak amal ibadah).
Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Santun, Maha Halus dan Maha Penyabar, maka iapun merasa malu ketika ia marah, dan hidupnya merasa tenang karena tahu bahwa ia dijaga oleh Tuhannya secara lembut dan sabar.

c. Pelajari dengan cermat sejarah (Siroh) kehidupan Rasulullah SAW.
Dengan memahami perilaku, keagungan dan perjuangan Rasulullah, akan menumbuhkan rasa cinta kita terhadapnya, kemudian berkembang menjadi keinginan untuk mencontoh semua perilaku beliau dan mematuhi pesan-pesan beliau selaku utusan Allah.
Seorang sahabat r.a. mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, “Wahai Rasul Allah, kapan tibanya hari akhirat?”. Rasulullah saw balik bertanya : “Apakah yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari akhirat?”. Si sahabat menjawab , “Wahai Rasulullah, aku telah sholat, puasa dan bersedekah selama ini, tetap saja rasanya semua itu belum cukup. Namun didalam hati, aku sangat mencintai dirimu, ya Rasulullah”. Rasulullah saw menjawab, “Insya Allah, di akhirat kelak engkau akan bersama orang yang engkau cintai”. (HR Muslim) Inilah hadits yang sangat disukai para sahabat Rasulullah SAW. Jelaslah bahwa mencintai Rasulullah adalah salah satu jalan menuju surga, dan membaca riwayat hidupnya (siroh) adalah cara terpenting untuk lebih mudah memahami dan mencintai Rasulullah SAW.

d. Mempelajari Jasa-jasa dan Kualitas Agama Islam
Perenungan terhadap syariat Islam, hukum-hukumnya, akhlak yang diajarkannya, perintah dan larangannya, akan menimbulkan kekaguman terhadap kesempurnaan ajaran agama Islam ini. Tidak ada agama lain yang memiliki aturan dan etiket yang sedemikian rincinya seperti Islam, dimana untuk makan dan ke WC pun ada adabnya, untuk aspek hukum dan ekonomi ada aturannya, bahkan untuk berhubungan suami -istripun ada aturannya.

e. Mempelajari Kehidupan Orang-orang Sholeh (generasi Shalafus Sholihin, para sahabat Rasulullah SAW, murid-murid para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
Mereka adalah generasi-generasi terbaik dari Islam. Mereka adalah orang-orang yang kadar keimanannya diibaratkan sebesar gunung Uhud sementara manusia zaman kini diibaratkan kadar keimananya tak lebih dari sebutir debu dari gunung Uhud. Umar r.a. pernah memuntahkan makanan yang sudah masuk ke perutnya ketika tahu bahwa makanan yang diberikan padanya kurang halal sumbernya. Sejarah lain menceritakan tentang lumrahnya seorang tabi’in meng-khatamkan Qur’an dalam satu kali sholatnya. Atau cerita tentang seorang sholeh yang lebih dari 40 tahun hidupnya berturut-turut tidak pernah sholat wajib sendiri kecuali berjamaah di mesjid. Atau seorang sholeh yang menangis karena lupa mengucap doa ketika masuk mesjid. Inilah cerita-cerita teladan yang mampu menggetarkan hati seorang yang sedang meningkatkan keimanannnya.

2. Renungkanlah tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam (ma’rifatullah)
Singkirkan dulu kesombongan akal kita, renungkan secara tulus bagaimana alam ini diciptakan. Sungguh pasti ada kekuatan luar biasa yang mampu menciptakan alam yang sempurna ini, sebuah struktur dan sistem kehidupan yang rapi, mulai dari tata surya, galaksi hingga struktur pohon dan sel-sel atom.
Renungkan pula rahasia dan mukjizat Qur’an. Salah satu keajaiban Al Qur’an adalah struktur matematis Al Qur’an. Walau wahyu Allah diturunkan bertahap namun ketika seluruh wahyu lengkap maka ditemukan bahwa kata tunggal “hari” disebut sebanyak 365 kali, sebanyak jumlah hari pada satu tahun syamsiyyah (masehi). Kata jamak hari disebut sebanyak 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam satu bulan. Sedang kata Syahrun (bulan) dalam Al Quran disebut sebanyak 12 kali sama dengan jumlah bulan dalam satu tahun. Kata Saa’ah (jam) disebutkan sebanyak 24 kali sama dengan jumlah jam sehari semalam. Dan semua kata-kata itu tersebar di 114 surat dan 6666 ayat dan ratusan ribu kata yang tersusun indah. Dan masih banyak lagi keajaiban dan mukjizat Al Quran dari sisi pandang lainnya yang membuktikan bahwa itu bukan karya manusia. Masih banyak pula mukjizat lainnya di alam ini yang membuktikan bahwa alam ini memiliki struktur yang sangat sempurna dan tidak mungkin tercipta dengan sendirinya. Adalah lumrah, bahwa sesuatu yang tidak mungkin diciptakan manusia, pastilah diciptakan sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Besar. Inilah yang menambah kecilnya diri kita dan menambah kekaguman dan cinta serta iman kita kepada Sang Pencipta alam semesta ini.

3. Berusaha keras melakukan amal perbuatan yang baik secara ikhlas
Amal perbuatan perlu digerakkan. Dimulai dari hati, kemudian terungkap melalui lidah kita dan kemudian anggota tubuh kita. Selain ikhlas, diperlukan usaha dan keseriusan untuk melakukan amalan-amalan ini.
a. Amalan Hati
Dilakukan melalui pembersihan hati kita dari sifat-sifat buruk, selalu menjaga kesucian hati. Ciptakan sifat-sifat sabar dan tawakal, penuh takut dan harap akan Allah. Jauhi sifat tamak, kikir, prasangka buruk dan sebagainya.
b. Amalan Lidah
Perbanyak membaca Al-Qur’an, zikir, bertasbih, tahlil, takbir, istighfar, mengirim salam dan sholawat kepada Rasulullah dan mengajak orang lain kepada kebaikan, melarang kemungkaran.
c. Amalan Anggota Tubuh
Dilakukan melalui kepatuhan dalam sholat, pengorbanan untuk bersedekah, perjuangan untuk berhaji hingga disiplin untuk sholat berjamaah di mesjid (khususnya bagi pria).


SEBAB-SEBAB TURUNNYA KADAR IMAN :

Sebab-sebab dari dalam diri kita sendiri (Internal) :

1. Kebodohan
Kebodohan merupakan pangkal dari berbagai perbuatan buruk. Seseorang berbuat jahat boleh jadi karena ia tak tahu bahwa perbuatan itu dilarang agama, atau ia tidak tahu ancaman dan bahaya yang akan dihadapinya kelak di akhirat, atau ia tidak tahu keperkasaan Sang Maha Kuasa yang mengatur denyut jantungnya, mengatur musibah dan rezekinya.

2. Ketidakpedulian, keengganan dan melupakan
Ketidakpedulian menyebabkan pikiran seseorang diisi dengan hal-hal duniawi yang hanya ia sukai (yang ia pedulikan), sedangkan yang bukan ia sukai tidak diberi tempat dipikirannya. Ini menyebabkan ia tidak ingat (dzikir) pada Allah, sifatnya tidak tulus, tidak punya rasa takut dan malu (kepada Allah), tidak merasa berdosa (tidak perlu tobat), dan bisa jadi ia menjadi sombong karena tidak merasakan pentingnya berbuat rendah hati dan sederhana.
Kengganan seseorang untuk melakukan suatu kebaikan padahal ia tahu hal itu telah diperintahkan Allah, maka ia termasuk orang yang men-zhalimi (melalaikan) dirinya sendiri. Allah akan mengunci hatinya dari jalan yang lurus (al-Kahfi 18:5), dan ia akan menjadi teman syeitan (Thaaha 20:124).
Melupakan kewajiban dan kepatuhan seseorang dalam beribadah berawal dari sifat lalai atau lemah hatinya. Waktu dan energinya harus didorong agar diisi lebih banyak dengan perbuatan amal sholeh, kalau tidak maka kesenangan duniawi akan semakin menguasai dirinya hingga ia semakin jauh dari ingat (dzikir) kepada Allah.

3. Menyepelekan dan melakukan perbuatan dosa
Awal dari perbuatan dosa adalah sikap menyepelekan (tidak patuh terhadap) perintah dan larangan Allah. Perbuatan dosa umumnya dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dari zinah pandangan mata yang dianggap dosa kecil kemudian berkembang menjadi zinah tubuh. Dosa-dosa kecil yang disepelekan merupakan proses pendidikan jahat (pembiasaan) untuk menyepelekan dosa-dosa besar. Karena itu basmilah dosa-dosa kecil selagi belum tumbuh menjadi dosa besar.

4. Jiwa yang selalu memerintahkan berbuat jahat
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, Allah menggabungkan dua jiwa, yakni jiwa jahat dan jiwa yang tenang sekaligus dalam diri manusia, dan mereka saling bermusuhan dalam diri seorang manusia. Disaat salah satu melemah, maka yang lain menguat. Perang antar keduanya berlangsung terus hingga si empunya jiwa meninggal dunia. Adalah sungguh merugi orang-orang yang jiwa jahatnya menguasai tubuhnya. Seperti sabda Rasulullah, “..barang siapa yang diberi petunjuk Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkannya maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk”. Sifat lalai, tidak mau belajar agama, sombong dan tidak peduli merupakan beberapa cara untuk membiarkan jiwa jahat dalam tubuh kita berkuasa. Sedangkan sifat rendah hati, mau belajar, mau melakukan instropeksi (muhasabah) merupakan cara untuk memperkuat jiwa kebaikan (jiwa tenang) yang ada dalam tubuh kita.


Sebab-sebab dari luar diri kita (External) :

1. Syaitan
Syaitan adalah musuh manusia. Tujuan syaitan adalah untuk merusak keimanan orang. Siapa saja yang tidak membentengi dirinya dengan selalu mengingat Allah maka ia menjadi sarang syaitan, menjerumuskannya dalam kesesatan, ketidak patuhan terhadap Allah, membujuknya melakukan dosa.

2. Bujukan dan rayuan dunia
Allah SWT berfirman : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS, al-Hadiid 57:20).
Tujuan hidup manusia seluruhnya untuk akhirat. Apapun kegiatan dunia yang kita lakukan, seperti mencari nafkah, menonton TV, bertemu teman dan keluarga, seharusnya semua itu ditujukan untuk meraih pahala akhirat. Tidak secuilpun dari kegiatan duniawi boleh dilepaskan dari aturan main yang diperintahkan atau dilarang Allah. Ibnul Qayyim mengibaratkan hati sebagai suatu wadah bagi tujuan hidup manusia (akhirat dan duniawi) dengan kapasitas (daya tampung) tertentu. Ketika tujuan duniawi tumbuh maka ia akan mengurangi porsi tujuan akhirat. Ketika porsi tujuan akhirat bertambah maka porsi tujuan duniawi berkurang. Dalam situasi dimana tujuan dunia menguasai hati kita maka hanya tersisa sedikit porsi akhirat di hati kita, dan inilah awal dari menurunnya keimanan kita.

3. Pergaulan yang buruk
Rasulullah bersabda : “Seseorang itu terletak pada agama teman dekatnya, sehingga masing-masing kamu sebaiknya melihat kepada siapa dia mengambil teman dekatnya” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, al-Hakim, al-Baghawi).
Seorang teman yang sholeh selalu memperhatikan perintah dan larangan Allah, karenanya ia selalu mengajak siapa saja orang disekitarnya untuk menuju kepada kebaikan dan mengingatkan mereka bila mendekati kemungkaran. Teman dan sahabat yang sholeh sangat penting kita miliki di zaman kini dimana pergaulan manusia sudah sangat bebas dan tidak lagi memperhatikan nilai-nilai agama Islam. Berada diantara teman-teman yang sholeh akan membuat seorang wanita tidak merasa asing bila mengenakan jilbab. Demikian pula seorang pria bisa merasa bersalah bila ia membicarakan aurat wanita diantara orang-orang sholeh. Sebaliknya berada diantara orang-orang yang tidak sholeh atau berperilaku buruk menjadikan kita dipandang aneh bila berjilbab atau bahkan ketika hendak melakukan sholat.


Menaikkan kadar iman bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena begitu banyak usaha (menuntut ilmu, amalan-amalan) yang harus kita lakukan disamping godaan (syaitan, duniawi) yang akan kita hadapi. Paling tidak kita termasuk orang-orang yang lebih beruntung dibanding orang lain yang belum sempat mengetahui “sebab-sebab naik-turunnya iman” dalam tulisan ini. Mari kita ingatkan teman-teman kita dengan menyebarkan tulisan ini.


Sumber :
1. Sebab-sebab Naik Turunnya Iman, oleh Syaikh Abdur Razzaaq al-Abbaad
2. Asma’ul Husna, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
3. Penawar Hati yang Sakit, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Read On 0 komentar

Setan Itu Lemah

Banyak orang mengatakan melawan setan itu sulit. Setan terlalu hebat dan kuat. Jaringan dan programnya sangat rapi dan menyenangkan. Padahal Allah berfirman: ...perangilah kawankawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (QS Annisaa' [4]: 76).

Benar, setan sebenarnya sangat lemah, karena ia harus berhadapan dengan kekuatan Allah. Maka orang-orang yang beriman dan bersungguhsungguh menaati Allah, tidak akan bisa dikalahkan setan, sebab Allah menolongnya.

Allah berfirman: ''Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS Alfath [48]: 4). Setan yang mana yang bisa mengalahkan tentara Allah? Bukankah semua milik Allah? Bukankah semua mahluk di alam ini siap menjadi tentara Allah?

Simaklah lagi Allah berfirman: Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman (QS Alhajj [22]: 38). Ini janji Allah bahwa akan membela hamba-hamba-Nya, dan Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Masih kurang apa lagi? Tapi mengapa kok masih banyak yang ikut setan?

Padahal dalam banyak ayat, Allah SWT. Tidak pernah bosan menggambarkan keperkasaanNya. Dalam surah Al Munafiquun [63]: 7 Allah berfirman: "Kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. Dalam Almaidah [5]:56, ditegaskan bahwa golongan Allah (hizbullah) pasti menang: Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.

Lebih dari itu dalam banyak ayat Allah juga menggambarkan tidak ada setan yang pernah berbuat baik, bahkan ia adalah musuh yang membawa kehancuran bagi kemanusiaan. Allah berfirman: Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu, karena sesungguhnya setan hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (QS Fathir [35]: 6).

Perhatikan betapa pekerjaan syetan tidak ada lain kecuali mengajak ke neraka. Maka orang-orang yang ikut setan, mereka hanya capek-capek hidup, setelah itu mereka menjadi bahan bakar neraka. Wallahu a'lam bishshswab.

sumber : Amir Faisol Fath, Republika
Read On 0 komentar

20 Cara Menguatkan Iman

oleh : Muhammad Buqi

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.” (Ali Imran: 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang denan (menggunakan) nama-Nya kami saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1)

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan, barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah mendapatkan kemenangan yang besar.”

Begitulah perintah Allah kepada kita agar kita bertakwa. Namun, iman di dalam hati kita bukanlah sesuatu yang statis. Iman kita begitu dinamis. Bak gelombang air laut yang kadang pasang naik dan kadang pasang surut.

Ketika kondisi iman kita lemah dan kondisi lemah itu kita masih ada dalam kebaikan, kita beruntung. Namun, bila ketika kondisi iman kita lemah dan kondisi lemah itu membuat kita ada di luar koridor ajaran Rasulullah saw., kita celaka. Rasulullah saw. bersabda, “Engkau mempunyai amal yang bersemangat, dan setiap semangat mempunyai kelemahan. Barangsiapa yang kelemahannya tertuju pada sunnahku, maka dia telah beruntung. Dan, siapa yang kelemahannya tertuju kepada selain itu, maka dia telah binasa.” (Ahmad)

Begitulah kondisi hati kita. Sesuai dengan namanya, hati –dalam bahasa Arab qalban—selalu berubah-ubah (at-taqallub) dengan cepat. Rasulullah saw. berkata, “Dinamakan hati karena perubahannya. Sesungguhnya hati itu ialah laksana bulu yang menempel di pangkal pohon yang diubah oleh hembusan angin secara terbalik.” (Ahmad dalam Shahihul Jami’ no. 2365)

Karena itu Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita sebuah doa agar Allah saw. menetapkan hati kita dalam ketaatan. “Ya Allah Yang membolak-balikan hati-hati manusia, balikanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.” (Muslim no. 2654)

Hati kita akan kembali pada kondisi ketaatan kepada Allah swt. jika kita senantiasa memperbaharui keimanan kita. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya iman itu dijadikan di dalam diri salah seorang di antara kamu sekalian sebagaimana pakaian yang dijadikan, maka memohonlah kepada Allah agar Dia memperbaharui iman di dalam hatimu.” (Al-Hakim di Al-Mustadrak, 1/4; Al-Silsilah Ash-Shahihain no. 1585; Thabrany di Al-Kabir)

Bagaimana cara memperbaharui iman? Ada 20 sarana yang bisa kita lakukan, yaitu sebagai berikut.

1. Perbanyaklah menyimak ayat-ayat Al-Quran

Al-Qur’an diturunkan Allah sebagai cahaya dan petunjuk, juga sebagai obat bagi hati manusia. “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra’: 82).

Kata Ibnu Qayyim, yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim untuk menyembuhkan hatinya melalui Al-Quran, “Caranya ada dua macam: pertama, engkau harus mengalihkan hatimu dari dunia, lalu engkau harus menempatkannya di akhirat. Kedua, sesudah itu engkau harus menghadapkan semua hatimu kepada pengertian-pengertian Al-Qur’an, memikirkan dan memahami apa yang dimaksud dan mengapa ia diturunkan. Engkau harus mengamati semua ayat-ayat-Nya. Jika suatu ayat diturunkan untuk mengobati hati, maka dengan izin Allah hati itu pun akan sembuh.”

2. Rasakan keagungan Allah seperti yang digambarkan Al-Qur’an dan Sunnah

Al-Qur’an dan Sunnah banyak sekali mengungkap keagungan Allah swt. Seorang muslim yang ketika dihadapkan dengan keagungan Allah, hatinya akan bergetar dan jiwanya akan tunduk. Kekhusukan akan hadir mengisi relung-relung hatinya.

Resapi betapa agungnya Allah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui, yang memiliki nama-nama yang baik (asma’ul husna). Dialah Al-’Azhim, Al-Muhaimin, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir, Al-Qawiyyu, Al-Qahhar, Al-Kabiir, Al-Muth’ali. Dia yang menciptakan segala sesuatu dan hanya kepada-Nya lah kita kembali.

Jangan sampai kita termasuk orang yang disebut ayat ini, “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi dan seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (Az-Zumar: 67)

3. Carilah ilmu syar’i

Sebab, Al-Qur’an berkata, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya ialah orang-orang yang berilmu.” (Fathir: 28). Karenanya, dalamilah ilmu-ilmu yang mengantarkan kita pada rasa takut kepada Allah.

Allah berfirman, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Az-Zumar: 9). Orang yang tahu tentang hakikat penciptaan manusia, tahu tentang syariat yang diturunkan Allah sebagai tata cara hidup manusia, dan tahu ke mana tujuan akhir hidup manusia, tentu akan lebih khusyuk hatinya dalam ibadah dan kuat imannya dalam aneka gelombang ujian ketimbang orang yang jahil.

Orang yang tahu tentang apa yang halal dan haram, tentu lebih bisa menjaga diri daripada orang yang tidak tahu. Orang yang tahu bagaiman dahsyatnya siksa neraka, tentu akan lebih khusyuk. Orang yang tidak tahu bagaimana nikmatnya surga, tentu tidak akan pernah punya rasa rindu untuk meraihnya.

4. Mengikutilah halaqah dzikir
Suatu hari Abu Bakar mengunjungi Hanzhalah. “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah berbuat munafik.” Abu Bakar menanyakan apa sebabnya. Kata Hanzhalah, “Jika kami berada di sisi Rasulullah saw., beliau mengingatkan kami tentang neraka dan surga yang seakan-akan kami bisa melihat dengan mata kepala sendiri. Lalu setelah kami pergi dari sisi Rasulullah saw. kami pun disibukkan oleh urusan istri, anak-anak, dankehidupan, lalu kami pun banyak lupa.”

Lantas keduanya mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Kata Rasulullah, “Demi jiwaku yang ada di dalam genggaman-Nya, andaikata kamu sekalian tetap seperti keadaanmu di sisiku dan di dalam dzikir, tentu para malaikat akan menyalami kamu di atas kasurmu dan tatkala kamu dalam perjalanan. Tetapi, wahai Hanzhalah, sa’atah, sa’atan, sa’atan.” (Shahih Muslim no. 2750)

Begitulah majelis dzikir. Bisa menambah bobot iman kita. Makanya para sahabat sangat bersemangat mengadakan pertemuan halaqah dzikir. “Duduklah besama kami untuk mengimani hari kiamat,” begitu ajak Muadz bin Jabal. Di halaqah itu, kita bisa melaksanakan hal-hal yang diwajibkan Allah kepada kita, membaca Al-Qur’an, membaca hadits, atau mengkaji ilmu pengetahuan lainnya.

5. Perbanyaklah amal shalih

Suatu ketika Rasulullah saw. bertanya, “Siapa di antara kalian yang berpuasa di hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu Rasulullah saw. bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah amal-amal itu menyatu dalam diri seseorang malainkan dia akan masuk surga.” (Muslim)

Begitulah seorang mukmin yang shaddiq (sejati), begitu antusias menggunakan setiap kesempatan untuk memperbanyak amal shalih. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan surga. “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabb-mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (Al-Hadid: 21)

Begitulah mereka. Sehingga keadaan mereka seperti yang digambarkan Allah swt., “Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam, dan pada akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). Dan, pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat: 17-19)

Banyak beramal shalih, akan menguatkan iman kita. Jika kita kontinu dengan amal-amal shalih, Allah akan mencintai kita. Dalam sebuah hadits qudsy, Rasulullah saw. menerangkan bahwa Allah berfirman, “Hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan mengerjakan nafilah sehingga Aku mencintainya.” (Shahih Bukhari no. 6137)

6. Lakukan berbagai macam ibadah

Ibadah memiliki banyak ragamnya. Ada ibadah fisik seperti puasa, ibadah materi seperti zakat, ibadah lisan seperti doa dan dzikir. Ada juga ibadah yang yang memadukan semuanya seperti haji. Semua ragam ibadah itu sangat bermanfaat untuk menyembuhkan lemah iman kita.

Puasa membuat kita khusyu’ dan mempertebal rasa muraqabatullah (merasa diawasi Allah). Shalat rawatib dapat menyempurnakan amal-amal wajib kita kurang sempurna kualitasnya. Berinfak mengikis sifat bakhil dan penyakit hubbud-dunya. Tahajjud menambah kekuatan.

Banyak melakukan berbagai macam ibadah bukan hanya membuat baju iman kita makin baru dan cemerlang, tapi juga menyediakan bagi kita begitu banyak pintu untuk masuk surga. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menafkahi dua istri di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga: ‘Wahai hamba Allah, ini adalah baik.’ Lalu barangsiapa yang menjadi orang yang banyak mendirikan shalat, maka dia dipanggil dari pintu shalat. Barangsiapa menjadi orang yang banyak berjihad, maka dia dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa menjadi orang yang banyak melakukan puasa, maka dia dipanggil dari pintu ar-rayyan. Barangsiapa menjadi orang yang banyak mengeluarkan sedekah, maka dia dipanggil dari pintu sedekah.” (Bukhari no. 1798)

7. Hadirkan perasaan takut mati dalam keadaan su’ul khatimah

Rasa takut su’ul khatimah akan mendorong kita untuk taat dan senantiasa menjaga iman kita. Penyebab su’ul khatimah adalah lemahnya iman menenggelamkan diri kita ke dalam jurang kedurhakaan. Sehingga, ketika nyawa kita dicabut oleh malaikat Izrail, lidah kita tidak mampu mengucapkan kalimat laa ilaha illallah di hembusan nafas terakhir.

8. Banyak-banyaklah ingat mati

Rasulullah saw. bersabda, “Dulu aku melarangmu menziarahi kubur, ketahuilah sekarang ziarahilah kubur karena hal itu bisa melunakan hati, membuat mata menangism mengingatkan hari akhirat, dan janganlah kamu mengucapkan kata-kata yang kotor.” (Shahihul Jami’ no. 4584)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Banyak-banyaklah mengingat penebas kelezatan-kelezatan, yakni kematian.” (Tirmidzi no. 230)

Mengingat-ingat mati bisa mendorong kita untuk menghindari diri dari berbuat durhaka kepada Allah; dan dapat melunakkan hati kita yang keras. Karena itu Rasulullah menganjurkan kepada kita, “Kunjungilah orang sakit dan iringilah jenazah, niscaya akan mengingatkanmu terhadap hari akhirat.” (Shahihul Jami’ no. 4109)

Melihat orang sakit yang sedang sakaratul maut sangat memberi bekas. Saat berziarah kubur, bayangkan kondisi keadaan orang yang sudah mati. Tubuhnya rusak membusuk. Ulat memakan daging, isi perut, lidah, dan wajah. Tulang-tulang hancur.

Bayangan seperti itu jika membekas di dalam hati, akan membuat kita menyegerakan taubat, membuat hati kita puas dengan apa yang kita miliki, dan tambah rajin beribadah.

9. Mengingat-ingat dahsyatnya keadaan di hari akhirat

Ada beberapa surat yang menceritakan kedahsyatan hari kiamat. Misalnya, surah Qaf, Al-Waqi’ah, Al-Qiyamah, Al-Mursalat, An-Naba, Al-Muththaffifin, dan At-Takwir. Begitu juga hadits-hadits Rasulullah saw.

Dengan membacanya, mata hati kita akan terbuka. Seakan-akan kita menyaksikan semua itu dan hadir di pemandangan yang dahsyat itu. Semua pengetahuan kita tentang kejadian hari kiamat, hari kebangkitan, berkumpul di mahsyar, tentang syafa’at Rasulullah saw., hisab, pahala, qishas, timbangan, jembatan, tempat tinggal yang kekal di surga atau neraka; semua itu menambah tebal iman kita.

10. Berinteraksi dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan fenomena alam

Aisyah pernah berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat orang-orang jika mereka melihat awan, maka mereka gembira karena berharap turun hujan. Namun aku melihat engkau jika engkau melihat awan, aku tahu ketidaksukaan di wajahmu.” Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Aisyah, aku tidak merasa aman jika di situ ada adzab. Sebab ada suatu kaum yang pernah diadzab dikarenakan angin, dan ada suatu kaum yang melihat adzab seraya berkata, ‘Ini adalah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami’.” (Muslim no. 899)

Begitulah Rasulullah saw. berinteraksi dengan fenomena alam. Bahkan, jika melihat gerhana, terlihat raut takut di wajah beliau. Kata Abu Musa, “Matahari pernah gerhana, lalu Rasulullah saw. berdiri dalam keadaan ketakutan. Beliau takut karena gerhana itu merupakan tanda kiamat.”

11. Berdzikirlah yang banyak

Melalaikan dzikirulah adalah kematian hati. Tubuh kita adalah kuburan sebelum kita terbujur di kubur. Ruh kita terpenjara. Tidak bisa kembali. Karena itu, orang yang ingin mengobati imannya yang lemah, harus memperbanyak dzikirullah. “Dan ingatlah Rabb-mu jika kamu lupa.” (Al-Kahfi: 24) “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lha hati menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)

Ibnu Qayim berkata, “Di dalam hati terdapat kekerasan yang tidak bisa mencair kecuali dengan dzikrullah. Maka seseorang harus mengobati kekerasan hatinya dengan dzikrullah.”

12. Perbanyaklah munajat kepada Allah dan pasrah kepada-Nya

Seseorang selagi banyak pasrah dan tunduk, niscaya akan lebih dekat dengan Allah. Sabda Rasulullah saw., “Saat seseorang paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah doa.” (Muslim no. 428)

Seseorang selagi mau bermunajat kepada Allah dengan ucapan yang mencerminkan ketundukan dan kepasrahan, tentu imannya semakin kuat di hatinya. Semakin menampakan kehinaan dan kerendahan diri kepada Allah, semakin kuat iman kita. Semakin banyak berharap dan meminta kepada Allah, semakin kuat iman kita kepada Allah swt.

13. Tinggalkan angan-angan yang muluk-muluk

Ini penting untuk meningkatkan iman. Sebab, hakikat dunia hanya sesaat saja. Banyak berangan-angan hanyalah memenjara diri dan memupuk perasaan hubbud-dunya. Padahal, hidup di dunia hanyalah sesaat saja.

Allah swt. berfirman, “Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka adzab yang telah dijanjikan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Asy-Syu’ara: 205-207)

“Seakan-akan mereka tidak pernah diam (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari.” (Yunus: 45)

14. Memikirkan kehinaan dunia

Hati seseorang tergantung pada isi kepalanya. Apa yang dipikirkannya, itulah orientasi hidupnya. Jika di benaknya dunia adalah segala-galanya, maka hidupnya akan diarahkan untuk memperolehnya. Cinta dunia sebangun dengan takut mati. Dan kata Allah swt., “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (Ali Imran)

Karena itu pikirkanlah bawa dunia itu hina. Kata Rasulullah saw., “Sesungguhnya makanan anak keturunan Adam itu bisa dijadikan perumpamaan bagi dunia. Maka lihatlah apa yang keluar dari diri anak keturunan Adam, dan sesungguhnya rempah-rempah serta lemaknya sudah bisa diketahui akan menjadi apakah ia.” (Thabrani)

Dengan memikirkan bahwa dunia hanya seperti itu, pikiran kita akan mencari orientasi ke hal yang lebih tinggi: surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.

15. Mengagungkan hal-hal yang terhormat di sisi Allah

“Barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)

“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabb-nya.” (Al-Hajj: 30)

Hurumatullah adalah hak-hak Allah yang ada di diri manusia, tempat, atau waktu tertentu. Yang termasuk hurumatullah, misalnya, lelaki pilihan Muhammad bin Abdullah, Rasulullah saw.; tempat-tempat suci (Masjid Haram, Masjid Nabawi, Al-Aqha), dan waktu-waktu tertentu seperti bulan-bulan haram.

Yang juga termasuk hurumatullah adalah tidak menyepelekan dosa-dosa kecil. Sebab, banyak manusia binasa karena mereka menganggap ringan dosa-dosa kecil. Kata Rasulullah saw., “Jauhilah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu bisa berhimpun pada diri seseornag hingga ia bisa membinasakan dirinya.”

16. Menguatkan sikap al-wala’ wal-bara’

Al-wala’ adalah saling tolong menolong dan pemberian loyalitas kepada sesama muslim. Sedangkan wal-bara adalah berlepas diri dan rasa memusuhi kekafiran. Jika terbalik, kita benci kepada muslim dan amat bergantung pada musuh-musuh Allah, tentu keadaan ini petanda iman kita sangat lemah.

Memurnikan loyalitas hanya kepada Alah, Rasul, dan orang-orang beriman adalah hal yang bisa menghidupkan iman di dalam hati kita.

17. Bersikap tawadhu

Rasulullah saw. bersabda, “Merendahkan diri termasuk bagian dari iman.” (Ibnu Majah no. 4118)

Rasulullah juga berkata, “Barangsiapa menanggalkan pakaian karena merendahkan diri kepada Allah padahal dia mampu mengenakannya, maka Allah akan memanggilnya pada hati kiamat bersama para pemimpin makhluk, sehingga dia diberi kebebasan memilih di antara pakaian-pakaian iman mana yang dikehendaki untuk dikenakannya.” (Tirmidzi no. 2481)

Maka tak heran jika baju yang dikenakan Abdurrahman bin Auf –sahabat yang kaya—tidak beda dengan yang dikenakan para budak yang dimilikinya.

18. Perbanyak amalan hati

Hati akan hidup jika ada rasa mencintai Allah, takut kepada-Nya, berharap bertemu dengan-Nya, berbaik sangka dan ridha dengan semua takdir yang ditetapkan-Nya. Hati juga akan penuh dengan iman jika diisi dengan perasaan syukur dan taubat kepada-Nya. Amalan-amalan hati seperti itu akan menghadirkan rasa khusyuk, zuhud, wara’, dan mawas diri. Inilah halawatul iman (manisnya iman)

19. Sering menghisab diri

Allah berfirman, “Hai orang-ornag yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)

Umar bin Khattab r.a. berwasiat, “Hisablah dirimu sekalian sebelum kamu dihisab.” Selagi waktu kita masih longgar, hitung-hitunglah bekal kita untuk hari akhirat. Apakah sudah cukup untuk mendapat ampunan dan surga dari Allah swt.? Sungguh ini sarana yang efektif untuk memperbaharui iman yang ada di dalam diri kita.

20. Berdoa kepada Allah agar diberi ketetapan iman

Perbanyaklah doa. Sebab, doa adalah kekuatan yang luar biasa yang dimiliki seorang hamba. Rasulullah saw. berwasiat, “Iman itu dijadikan di dalam diri salah seorang di antara kamu bagaikan pakaian yang dijadikan, maka memohonlah kepada Allah agar Dia memperbaharui iman di dalam hatimu.”

Ya Allah, perbaharuilah iman yang ada di dalam dada kami. Tetapkanlah hati kami dalam taat kepadamu. Tidak ada daya dan upaya kami kecuali dengan pertolonganMu.

sumber : www.dakwatuna.com
Read On 0 komentar

Memahami Berbagai Penyebab Kesesatan Akidah

Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc

Dari pengamatan terhadap sejarah orang-orang yang tersesat di muka bumi dan dengan melakukan pembahasan ilmiah terhadapnya, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kesesatan aqidah adalah tiga hal:

1. Penyimpangan pemikiran dari manhaj berpikir yang benar menurut Islam.
2. Penyimpangan jiwa dari manhaj mental-perilaku yang lurus.
3. Kelemahan iradah (kemauan/kehendak) di hadapan dominasi politik, atau dominasi sosial, atau dominasi spiritual, atau kelemahan iradah di hadapan orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh, sehingga ia mampu menggiring mereka yang lemah iradah ini kepada kesesatan.

1. Penyimpangan Pemikiran dari Manhaj Berpikir yang Benar

Aqidah di dalam Islam tidak boleh masuk ke dalam hati atau jiwa seseorang kecuali setelah melalui proses seleksi yang benar dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh Allah swt. Namun banyak manusia yang menjadikan begitu saja dugaan-dugaan atau khayalan mereka menjadi aqidah yang mereka yakini tanpa melalui proses seleksi yang tepat sehingga aqidah mereka tidak didasari oleh ilmu.

Penyimpangan pemikiran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1.a. Ghurur (merasa diri besar) dan Silau dengan Pendapat Sendiri

Bisa jadi ada sebuah lintasan pikiran atau ide dalam benak seseorang lalu karena merasa dirinya hebat maka ide mentah itu menjadi luar biasa menurutnya, lalu tanpa mengujinya dengan metode yang benar langsung dijadikannya sebagai aqidah yang menjadi keyakinannya. Kemudian pemikiran yang sesat ini ia sebarkan di kalangan awam yang lemah metode berpikirnya dengan ucapan yang dihiasi hujjah palsu atau menggunakan kekuatan pribadinya sehingga mereka menjadi para pengikutnya yang setia.

1.b. Kelemahan Akal dan Menerima begitu saja Pemikiran Sesat yang Dikatakan

Di sebuah komunitas masyarakat biasanya muncul pemikiran yang menyimpang dari jalan yang lurus. Sering kali pemikiran sesat ini mendapat sambutan masyarakat disebabkan oleh keterbelakangan pola pikir mereka, kemudian dengan berlalunya zaman yang panjang pemikiran ini menjadi aqidah masyarakat tersebut yang diwarisi turun temurun dan tidak dapat didiskusikan lagi. Mungkin juga aqidah sesat ini tidak muncul dengan sendirinya, tapi direkayasa oleh pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari kesesatan mereka.

Keterbelakangan pola pikir dan kelemahan akal ini biasanya menjadi sebab penyebaran aqidah sesat di masyarakat-masyarakat kuno atau terbelakang yang jauh dari pusat ilmu dan peradaban.

1.c. Ta’ashub & Taqlid Buta

Seseorang yang hidup dalam lingkungan sebuah masyarakat tertentu, pasti di sana ia memperolah banyak informasi dan keterampilan, juga beragam kebiasaan dan perilaku. Perolehan dari lingkungan ini ada yang benar dan ada yang salah. Namun karena ia berasal dari daerah tersebut, terbentuklah perasaan ‘sudah biasa’ atau ‘akrab’ dengan semua itu tanpa peduli benar atau salah. Ketika ia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakatnya boleh jadi terbentuk perasaan ta’ashub (fanatisme) terhadap keluarga, masyarakatnya, dan semua adat kebiasaan serta keyakinan mereka tanpa memberi kesempatan kepada akal sehatnya untuk merenungkan dan mendiskusikan kebenaran keyakinan masyarakatnya dengan timbangan yang benar.

Dengan kata lain bahwa banyak aqidah yang diyakini oleh berbagai bangsa di dunia ternyata adalah aqidah turun temurun dan dapat terpatri dalam jiwa hanya disebabkan oleh ta’ashub terhadap pendahulu atau nenek moyang mereka, baik yang memiliki landasan yang benar maupun tidak. Dan dari pengamatan, ternyata banyak sekali bangsa yang tidak memiliki hujjah sama sekali atas kepercayaan yang mereka yakini selain alasan kepercayaan yang sudah temurun kemudian mereka ikuti dan mereka bersikap ta’ashub terhadapnya.

Bangsa-bangsa tersebut diantaranya adalah bangsa-bangsa penyembah berhala atau penganut polytheisme di dataran Cina, India, Afrika, dan tempat-tempat lain. Seharusnya kepercayaan paganisme khurafat seperti itu tidak mungkin bertahan di era ilmu pengetahuan dan peradaban sekarang ini, ia hanya dapat hidup di zaman kegelapan yang jauh dari ilmu dan pola pikir yang benar. Satu-satunya yang memberi kekuatan bagi kepercayaan berhala khurafat itu untuk hidup di zaman moderen ini hanyalah taqlid buta dan ta’ashub para pemeluknya terhadap kepercayaan nenek moyang mereka.

Bangsa Arab sebelum dan pada permulaan Rasulullah saw diutus termasuk ke dalam kelompok ini. Ketika beliau saw mengajak mereka kepada tauhid dengan logika yang mengalahkan argumentasi mereka, Al-Quran mengabadikan jawaban mereka:

Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az-Zukhruf (43): 22).

Oleh karenanya, Al-Quran menjatuhkan alasan ini dan menyatakannya sebagai argumentasi yang tidak dapat diterima akal sehat:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah (2): 170).

Maksudnya: “Masuk akalkah kalau mereka berpegangteguh dengan keyakinan nenek moyang hanya karena alasan taqlid tanpa berpikir sama sekali?! Seandainya nenek moyang mereka tersesat, apakah tetap akan diikuti, padahal mereka telah merasakan kehancuran?!

1.d. Kultus Individu atau Berlebihan dalam Menghormati Tokoh

Dalam setiap ummat biasanya muncul tokoh yang dihormati karena ketaqwaannya, keilmuannya, atau pengorbanannya, … Kadang penghormatan ini berubah menjadi kultus bagi sebagian masyarakat awam yang lemah pola pikirnya atau mereka yang jahil sampai pada tingkat menjadikan tokoh mereka sebagai tuhan atau seperti tuhan. Mungkin juga kesesatan ini didukung oleh “para cendekiawan” yang memanfaatkan kesesatan masyarakat demi kepentingan mereka.

Diantara ummat yang kemudian menyekutukan Allah dengan mempertuhankan tokoh mereka adalah ummat Nasrani yang menuhankan Nabi Isa putra Maryam alaihimassalam, atau ummat Nabi Nuh yang mempertuhankan orang-orang shalih terdahulu yang mereka buat patung-patunya, yakni: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.

Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. (Nuh (71): 23).

1.e. Filsafat Pemikiran yang Keliru

Akal manusia semata betapapun hebatnya tidak akan mampu mengetahui hakikat zat atau bentuk sesuatu yang ghaib tanpa informasi yang shahih dari wahyu yang pasti kebenarannya.

Hal ini karena akal manusia tidak akan dapat menganalisa, merangkai, atau mengkhayalkan sesuatu kecuali bila bahan-bahannya sudah ada dalam memori otaknya. Sedangkan bahan-bahan itu tidak akan ada dalam memori kecuali melalui interaksi panca indra kita dengan alam nyata. Padahal alam ghaib tidak pernah ‘diakses’ oleh panca indra sama sekali. Sebagai contoh: kita tidak mungkin meminta orang yang buta sejak lahir untuk mengkhayalkan warna biru, dan kalau ia memaksakan diri mengkhayalkannya pastilah khayalannya itu keliru, karena ia sama sekali tidak pernah melihat warna apapun sehingga tidak ada bahan dasar untuk mengkhayalkannya. Orang yang tuli sejak lahir tidak akan mampu menganalisa atau mengkhayalkan suara musik tertentu karena ia tidak pernah mendengar apapun sehingga tidak ada bahan-bahan untuk menganalisa atau mengkhayalkannya…

Begitulah kita melihat kesesatan aqidah muncul akibat akal yang dijadikan hakim penentu keimanan kepada yang ghaib tanpa mau melihat dan mengikuti petunjuk wahyu yang dibawa oleh para Rasul as.

Demikian pula tidak benar menurut akal sehat apabila yang ghaib dianalogikan sepenuhnya dengan alam nyata karena adanya banyak kemungkinan perbedaan yang amat besar antara keduanya dalam hukum-hukumnya, sehingga ia tidak dapat diketahui oleh panca indra. Semua analisa terhadap yang ghaib dengan menggunakan hukum-hukum alam dunia ini menurut akal sehat adalah analisa dan analogi yang keliru.

Mereka yang menganalogikan Allah swt dengan makhluk-Nya dalam Zat dan Sifat-Nya tanpa peduli dengan arahan wahyu, pasti ia akan terjatuh pada kesesatan tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk) lalu mengatakan atau membayangkan Dia sebagai jasad yang memiliki batas-batas dan bentuk tertentu seperti makhluk– Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Atau mereka membayangkan bahwa Allah swt adalah ruh yang perlu menyatu dengan jasad makhluk tertentu dalam bentuk manusia, hewan, tumbuhan atau benda mati. Seperti kesesatan Nasrani yang mengatakan Tuhan bersatu dengan Isa alaihissalam, atau beberapa firqah (kelompok) yang mengaku muslimin tetapi sesungguhnya telah murtad karena meyakini aqidah wahdatul wujud (Allah menyatu dengan imam mereka yang mereka kultuskan)

Atau seperti mereka yang mengatakan Allah seperti makhluk yang juga mempunyai istri, anak atau kebutuhan lain…. - Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Seandainya mereka yang tersesat itu mau mendengar arahan wahyu melalui lisan Rasul-Nya pasti mereka akan mengatakan seperti ucapan seorang mukmin yang mengakui keterbatasan akalnya:

كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ.

Apapun yang terlintas dalam benakmu, pasti Allah tidak seperti itu.

Karena mengkultuskan akal dalam memikirkan yang ghaib, para filosuf terjatuh pada kesesatan menganggap hari akhirat hanya merupakan alam ruh saja. Dengan sebab itu pula penganut ideologi materialisme dan Dahriyyun mengingkari hari akhir.

Seandainya mereka mau berpikir dan mengakui keterbatasan akal mereka, pastilah mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya akal kami terbatas dengan batasan yang dimiliki panca indra, karenanya dengan akal semata kami tidak akan mampu mengkhayalkan bentuk yang ghaib dengan benar. Maka kami menerima semua informasi yang ghaib dari para Nabi dan Rasul yang pasti benar karena mereka didukung oleh mukjizat dan bukti ilmiah nyata tentang kebenaran pengakuan kenabian atau kerasulan mereka.”

Benarlah apa yang dikatakan Imam Syafi’i rahimahullah:

إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ.

Sesungguhnya akal itu memiliki batas akhir seperti penglihatan yang juga memiliki batas akhir.

2. Penyimpangan Jiwa dari Mental-Perilaku yang Lurus

Ada beberapa kelompok masyarakat tersesat bukan karena ketidaktahuan mereka tentang kebenaran atau bukan karena mereka memiliki pola pikir yang menyimpang, tapi kesesatan mereka disebabkan karena mereka lari dari kebenaran yang sudah mereka ketahui demi memenuhi keinginan hawa nafsu. Ketika seseorang sudah lari dari kebenaran, maka ia akan berusaha menganut paham kebatilan untuk menggantikan kebenaran yang ia hindari dan terus menerus berupaya keras membuat dirinya dan orang lain menerima kebatilan itu hingga akhirnya dianggap sebagai kebaikan. Ia melakukan hal ini, karena bagaimanapun pemikiran dan aqidah yang lurus itu akan menghalangi dirinya untuk mengikuti hawa nafsu, maka ia berusaha menggantinya dengan pemikiran dan aqidah yang sesat agar tidak terjadi kontradiksi atau perang batin antara hawa nafsu dengan prinsip hidupnya. Maka hawa nafsu yang dibantu oleh syaithan menghiasi perbuatan buruk agar terlihat baik, dengan mencari-cari alasan pembenaran meskipun amat jauh sampai keburukan itu betul-betul diterima sepenuhnya oleh jiwa dan tanpa memikirkan argumentasi lagi. Manusia yang sampai pada kondisi jiwa seperti ini benar-benar terjatuh kepada mentalitas dan perilaku terendah - semoga Allah melindungi kita darinya.

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (Al-A’raf (7): 175-176).

Jika saja orang seperti itu menggunakan akal sehatnya dan berusaha untuk berperilaku lurus, maka ia akan menghilangkan perang batin di dalam dirinya justru dengan menguatkan aqidah kebenaran dan memenuhi keinginan-keinginannya dengan cara yang halal serta mengarahkan keinginan melakukan yang haram dengan merasakan kenikmatan melaksanakan kewajiban dan ketinggian akhlaq. Penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa kelezatan melaksanakan kewajiban dan komitmen dengan perbuatan mulia jauh melebihi kenikmatan hawa nafsu rendah dan lebih menenangkan jiwa.

Penyimpangan mental perilaku ini dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:

2.a. Hasad (Dengki)

Adalah salah satu penyakit jiwa yang amat buruk yang mendorong orang untuk melecehkan kebenaran dan mengingkarinya meskipun kebenaran itu didukung oleh argumentasi dan bukti yang amat jelas.

Hasad ditambah ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu) menjadi faktor utama pengingkaran dan pembangkangan serta makar Yahudi terhadap kebenaran yang dibawa oleh Nabi Isa as. Oleh karenanya mereka berusaha untuk membunuh Nabi Isa as – namun Allah swt menyelamatkan beliau – sebagaimana telah mereka lakukan terhadap nabi-nabi Bani Israil lainnya alaihimussalam.

Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus (Jibril). Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan (hawa nafsu) mu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Al-Baqarah (2): 87).

Hasad juga yang menjadi penyebab utama permusuhan Yahudi terhadap Rasulullah saw sehingga mereka melakukan berbagai makar terhadap beliau dan dakwahnya, kemudian makar itu terus berlanjut sepanjang sejarah Islam dari khilafah Abu Bakar sampai hari ini.

Ahbar (para tokoh agama) Yahudi hasad kepada Nabi Isa karena mereka khawatir Nabi Isa merebut kepemimpinan agama yang sedang mereka pegang atas Bani Israil yang dengan kepemimpinan itu mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sedangkan hasad semua Yahudi – kecuali yang masuk Islam - kepada bangsa Arab di masa Rasulullah saw adalah karena mereka telah menanti seorang nabi untuk memerangi bangsa Arab yang menyembah berhala, namun justru bangsa Arab malah beriman kepada Nabi Muhammad saw, maka mereka mengingkari Nabi yang telah mereka ketahui kedatangannya sebelumnya.

Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka , padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (Al-Baqarah (2): 89).

Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya . Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah (2): 109).

2.b. Kecenderungan Jiwa yang Menuntut Pemenuhan dengan Cara Menyimpang

Akibat pendidikan yang rusak atau jauh dari manhaj Islam, sangat mungkin tumbuh dalam diri manusia kecendrungan yang tidak wajar seperti tumbuhnya virus jahat dalam tubuh, lalu ia menyebar dan menguasai jiwanya. Bila demikian maka orang ini akan kehilangan keseimbangan kemanusiaannya yang normal dan akalnya seperti tidak mau lagi mengakui kebenaran. Kecerdasannya lalu diarahkan untuk melakukan kelicikan dan keculasan demi memenuhi keinginan jiwa yang telah menyimpang itu.

Orang seperti ini akan menyembelih akhlaq mulia dengan dalih kebaikan, melakukan kejahatan dengan syiar kemanusiaan, dan menghancurkan bangunan al-haq dengan alasan memberantas kebatilan. Bila ada ayat Al-Quran atau hadits Rasulullah saw menghadang di depannya, ia akan mengingkarinya atau menafsirkannya sesuai hawa nafsunya.

Golongan atau kelompok masyarakat yang mengidap penyakit ini diantaranya adalah para penganut paham ibahiyyah (permissif/serba boleh), juga mereka yang mengingkari Allah atau hari akhir, atau orang-orang yang mengaku nabi, atau bahkan menyatakan dirinya tuhan seperti terjadi dalam beberapa episode sejarah.

2.c. Al-Kibr (Sombong)

Kesombongan yang menguasai jiwa seseorang menyebabkan ia berani menolak kebenaran dan melecehkan para pendukung kebenaran. Lalu ia mencari paham kebatilan dan berusaha menghiasinya dengan argumentasi palsu yang tidak berdasar sama sekali.

الكِبْرُ بَطَرُ الحقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ (رواه مسلم

Kesombongan itu sikap menolak kebenaran dan melecehkan orang lain. (HR. Muslim).

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya, dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. (Al-A’raf (7): 146).

Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya. Maka mintalah perlindungan kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Mu’min (40): 56).

2.d. Dendam Kesumat

Daulah Islam pernah selama berabad-abad mencapai kekuatannya yang amat besar dengan kebenaran dan keadilan yang dibawanya dalam jihad. Seiring dengan itu ada negara dengan aqidah sesatnya yang tersingkir seperti Imperium Persia yang kemudian sebagian rakyatnya masuk Islam dengan keikhlasan. Namun ada pula unsur-unsur diantara mereka yang menyimpan dendam kesumat terhadap Islam dan kaum muslimin karena mereka masih kuat rasa ashabiyahnya terhadap negara dan aqidah mereka namun tidak berani melawan secara terang-terangan.

Dendam kesumat ini melahirkan berbagai makar dan persekongkolan jahat terhadap Islam dan kaum muslimin sejak dulu hingga kini. Ada yang melakukan perang pemikiran dengan cara-cara licik untuk menyesatkan kaum muslimin dari aqidah yang benar sehingga ummat Islam berpecah belah karena aqidahnya terkena polusi. Ada pula yang melakukan perang secara fisik dengan pengerahan kekuatan demi menghancurkan kekuatan Islam. Mereka yang menyimpan dendam ini amat khawatir terhadap kemurnian aqidah ummat Islam yang akan menimbulkan kembalinya persatuan mereka kembali.

2.e. Motivasi Politis

Beberapa faktor penyimpangan jiwa boleh jadi terkumpul manjadi satu dan membentuk motivasi politis berupa keinginan kuat untuk menjadi penguasa. Motivasi politis ini mendorong pemiliknya untuk mencapai kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Seringkali mereka menganggap aqidah yang benar dalam hati manusia yang beriman sebagai penghalang terbesar hawa nafsu mereka. Oleh karenanya, mereka lantas menyebarkan aqidah sesat seperti atheisme atau permissivisme ke tengah-tengah masyarakat agar memberi dukungan. Kadang kala mereka menggunakan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan untuk membungkus motivasi mereka dengan kedok ilmiah dan menipu para pelajar dan mahasiswa.

Ketika mereka sudah berkuasa biasanya kekuasaan itu mereka gunakan untuk menyesatkan aqidah masyarakat seperti yang dilakukan oleh Namrudz di masa Ibrahim as, atau Fir’aun di masa Musa as.

Sangat mungkin pula mereka yang ingin meraih kekuasaan kemudian menciptakan agama atau ideologi baru dengan kemasan yang menarik orang-orang yang juga memiliki kelainan jiwa atau kemasan yang terlihat baik dari luar untuk menipu orang-orang awam dan lugu. Hal ini mereka lakukan karena motivasi keagamaan sering kali ampuh untuk memompa semangat para pengikut dalam berjuang dan berkorban melawan lawan politiknya yang sedang berkuasa. Diantara mereka adalah orang-orang yang menciptakan aqidah Syiah karena dendam dan motivasi politik sehingga menjadikan isu “Mencintai Ali ra & keluarga Rasulullah saw” sebagai modal untuk menyesatkan aqidah ummat Islam.

3. Kelemahan Iradah

Dalam episode perjalanan sejarah, cukup banyak manusia yang lemah iradah-nya (tidak memiliki keinginan dan keberanian untuk melawan) di hadapan kehendak para penguasa politik yang sesat, atau kekuatan sosial yang mendominasi mereka, atau di hadapan tokoh menyimpang yang berpengaruh.

Ketika iradah melemah akan terhentilah potensi berpikir kritis seseorang dan membuatnya membeo kepada pihak yang kuat. Sebaliknya para penguasa akan memanfaatkan mentalitas budak pengikutnya untuk kepentingan tertentu yang menyesatkan.

Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. (Az-Zukhruf (43): 54).

Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “(Tidak). Sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya”. Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan Kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir, mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Saba (34): 33).


Diringkas dari:
Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah Wa Ususuha, ‘Abdurrahman Hasan Habannakah Al-Maidani, Darul Qalam – Dasmaskus, hlm 587-600.

www.dakwatuna.com
Read On 0 komentar

Melawan Setan

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Ada sebuah pertandingan tinju. Petinju yang satu ditutup kepalanya sehingga tidak bisa melihat, sedangkan petunju yang satunya lagi tidak ditutup dan bisa bebas bergerak. Apa yang akan terjadi? Petinju yang ditutup kepalanya pasti akan menjadi bulan-bulanan lawannya.

Pertarungan kedua petinju tersebut, sesungguhnya menggambarkan pertarungan antara setan dengan manusia. Betapa sengsaranya jika kita harus bertarung dengan makhluk yang tidak terlihat, sedangkan ia bisa melihat kita. Tugas setan hanya satu, yaitu menggoda dan menggelincirkan manusia, sedangkan tugas kita sangat banyak. Setan menggoda manusia secara berjamaah, sedangkan kita harus menghadapinya sendirian.

Karena itu, tanpa berlindung kepada Allah, kita akan menjadi bulan-bulanan mereka. Analoginya, jika kita diganggu anjing galak, maka cara yang paling efektif untuk selamat, adalah meminta tolong kepada pemilik anjing tersebut. Inilah yang Allah perintahkan, Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al A'raaf [7]: 200).

Melihat berbagai keterbatasan manusia, Allah SWT telah memberikan aneka perlindungan kepada kita. Salah satunya dengan zikir. Zikir yang dilakukan dengan benar dan ikhlas, akan membuat setan tidak berkutik. Zikir di sini termasuk pula shalat, tilawah Al-Quran serta membaca doa. Dari Harits Al Asyari bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku perintahkan kepada kalian agar selalu berzikir kepada Allah. Sesungguhnya, perumpamaan orang yang berzikir itu seperti seorang yang dicari-cari oleh musuhnya. Mereka menyebar mencari orang tersebut sehingga ia sampai pada suatu benteng yang sangat kokoh dan ia dapat melindungi dirinya di dalam benteng tersebut dari kejaran musuh. Begitu juga setan. Seorang hamba tidak akan dapat meindungi dirinya dari setan, kecuali dengan berzikir kepada Allah.

Sesungguhnya, zikir akan membuat hati kita akan tenang, cemerlang, iman bertambah kuat dan hawa nafsu bisa lebih terkendali (QS Ar Ra'd [13]: 28). Nah, ketika nafsu kita terkendali, maka setan tidak lagi memiliki daya. Sebab, setan hanya bisa menggoda manusia dengan memanfaatkan hawa nafsu. Itulah sebabnya tipu daya setan tidak berdaya sedikit pun terhadap orang-orang ikhlas, yaitu orang-orang yang telah mampu menempatkan Allah di atas hawa nafsunya (QS Shaad [38]: 82-83).

Rasulullah SAW telah mencontohkan beberapa zikir pendek yang bisa membentengi kita dari tipu daya setan. Di antaranya, ucapan ta'awudz, a'uzdubillahi minassyaithaani rajiimi. Selain membaca basmalah, sangat baik pula jika kita membaca ta'awudz sebelum beraktivitas, agar Allah melindungi kita dari tipu daya setan.

Juga ucapan, “Bismillahi tawakkaltu 'alallahu laa haula wa laa quwwata illa billahi”. Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada-Nya, dan tiada daya serta kekuatan kecuali dari Allah semata. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa pun yang membaca doa ini ketika keluar dari rumahnya, maka Allah akan memberinya petunjuk, menjaga serta memalingkannya dari godaan setan.

Dan yang ketiga, ucapan istighfar serta tahlil. Rasulullah SAW bersabda, “Perbanyaklah mengucap 'La Laa Ilaha illaallahu' dan beristighfar. Karena setan berkata, 'Aku telah membinasakan mereka dengan dosa, sedangkan mereka membinasakanku dengan ucapan 'La Laa Ilaha illaallahu' serta dengan beristighfar. Ketika aku melihat hal itu, aku binasakan mereka dengan hawa nafsu. Sehingga mereka akhirnya menyangka bahwa mereka terus berada dalam naungan hidayah, dan mereka pun tidak lagi beristighfar” (HR Abu Ya'la dan Ad Dailami).

Saudaraku, ada banyak zikir lain yang bisa kita baca dalam berbagai waktu dan kesempatan. Misal, saat hendak tidur, bangun tidur, makan, berhubungan suami istri, dsb. Termasuk pula membaca Al Ma'tsurat setelah shalat Subuh dan Asar. Bertaburan pula ayat-ayat Alquran dan hadits yang bisa kita jadikan materi zikir. Insya Allah, jika hati kita senantiasa tersambung kepada Allah, maka akan ada benteng kokoh antara kita dan setan.

( KH Abdullah Gymnastiar )
Republika
Read On 0 komentar
 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009