Keutamaan Berdzikir, Berdo’a dan Bertobat

Suatu saat, selepas shalat, Rasulullah Saw berbagi sapa dan berbincang bincang dengan para sahabat tentang pelbagai hal. Dalam perbincangan itu, Rasulullah menyampaikan keutamaan majelis dzikir, do’a dan permohonan ampun kepada Allah Swt. Selain itu, beliau juga menekankan bahwa Allah Swt boleh jadi mengabulkan do’a seorang hamba, menghindarkannya dari bencana yang belum turun, menyimpan pahala do’anya di akhirat atau menghapusnya dosa-dosanya.

Beliau pun berceramah :

Sesungguhnya Allah Swt memiliki beberapa malaikat yang terus menerus berkeliling mencari majelis dzikir. Ketika menemukan majelis dzikir, mereka terus duduk di situ dengan menyelimutkan sayap sesama mereka hingga memenuhi ruang antara mereka dan langit yang paling bawah.
Ketika majelis itu usai, mereka bubar dan kemudian naik kelangit. Ketika berada dilangit, mereka ditanya oleh Allah Swt. Yang sebenarnya lebih tahu ketimbang mereka, “Kalian datang dari mana? !”
“Kami datang dari sisi para hamba-Mu di bumi yang mensucikan-Mu, mengagungkan-Mu, mengesakan-Mu, memuji-Mu, dan memohon kepada-Mu!” jawab mereka.
“Apa yang mereka minta?” tanya Allah Swt.
“Mereka memohon surga-Mu, “jawab mereka penuh takzim.
“Apakah mereka pernah melihat surga-Ku?” tanya Allah swt lebih jauh
“Tidak, wahai Tuhan,” jawab para malaikat dengan takzim.
“Betapa seandainya mereka melihat surga-Ku?” kata Allah Swt.
“Mereka juga memohon perlindungan kepada-Mu, “ucap mereka tetap takzim.
“Dari apa mereka memohon perlindungan kepada-Ku?” tanya Allah Swt lagi.
“Dari Neraka-Mu, wahai Tuhan,” Jawab mereka terus dengan takzim.
“Apakah mereka melihat Neraka-Ku ?” tanya Allah Swt sekali lagi.
“Tidak“ jawab mereka serempak.
“Betapa seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku,” kata Allah Swt.
“Mereka juga memohon Ampunan kepada-Mu, wahai Tuhan,” ucap mereka tetap dengan takzim.
“Aku telah mengampuni mereka, memberikan apa yang mereka mohon, dan melindungi mereka dari neraka,“ jawab Allah SWT.
“Wahai Tuhan, tapi dalam majelis mereka ada seseorang yang berdosa yang hanya kebetulan lewat lantas duduk bersama mereka,” lapor mereka.
“Dia juga Kami ampuni. Sebab, orang yang mau duduk bersama mereka tidak celaka !” jawab Allah SWT.

Sumber : buku “Mutiara Akhlak Rasulullah SAW” , penulis : Ahmad Rofi’ Usmani
Read On 0 komentar

Makna Berdzikir

DALIL-DALIL TENTANG KEUTAMAAN BERDZIKIR
  1. “Dan sesungguhnya mengingat ALLAH itu paling besar.” (QS al-Ankabut:45)
  2. “Maka ingatlah kepada-KU, pasti AKU akan ingat kepadamu.” (QS al-Baqarah:152)
  3. “Dan ingatlah kepada RABB-mu di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan merasa takut, dengan tidak meninggikan suaramu.” (QS al-A’raf:205)
  4. “Wahai orang-orang yang beriman ingatlah kepada ALLAH sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepda-NYA pada pagi dan petang hari.” (QS al-Ahzab:41-42)

MAKNA DZIKIR

Dzikir menurut pemahaman salafus-shalih adalah segala perbuatan yang dapat mendekatakan diri kepada ALLAH SWT, baik berupa shalat, puasa, zakat, tasbih, tahmid, takbir, tahlil maupun membicarakan hukum halal-haram, belajar, memberi nasihat, jual-beli, nikah, hajji, dan sebagainya. Sepanjang semua itu dilakukan dengan NIAT YANG IKHLAS dan melakukannya SESUAI DENGAN SYARI’AT, maka itu termasuk dzikir.
  1. Berkata Sa’id bin Jubair ra: Setiap orang yang beramal karena ALLAH adalah orang yang sedang berdzikir kepada-NYA.
  2. Berkata ‘Atha bin abi Rabah: Majlis dzikir adalah majlis yang membicarakan halal dan haram, serta bagaimana seharusnya kalian berjual-beli, shalat, puasa, nikah, thalaq, hajji, dll.
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN KETIKA BERDZIKIR

1. Niat yang Ikhlas, dalil-dalilnya:
  • Al-Qur’an: QS al-Bayyinah, 98:5; QS al-Hajj 22:37.
  • As-Sunnah: Hadits Umar ra yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim (Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya)
  • Atsar Salafus-Shalih:
  1. Berkata al-Fudhail bin ‘Iyadh: Beramal karena ingin dilihat orang adalah SYIRIK, meninggalkan amal karena takut dilihat orang adalah RIYA’, adapaun IKHLAS adalah terjaganya kamu dari kedua hal tersebut.
  2. Berkata al-Harits al-Muhasibi: Orang yang benar ialah tidak peduli pada penghormatan manusia karena kesucian hatinya. Dan juga tidak suka diketahui orang kebaikannya walau sebesar biji sawi karena kebaikan amalnya. Dan iapun tidak benci jika diketahui orang kelemahannya.”
  3. Berkata Abal Qasim al-Qusyairi: Ikhlas ialah mengarahkan ketaatan dengan niat kepada ALLAH Yg Maha Suci, yaitu menginginkan agar semua ketaatannya menjadi pendekatan dirinya kepada ALLAH tanpa sedikitpun keinginan-keinginan lain untuk makhluk, apalagi keinginan dipuji oleh manusia atau suka diketahui amalnya, atau segala keinginan yang lain daripada niat taqarrub kepada ALLAH SWT.”
  4. Berkata Muhammad bin Sahal at-Tastari: Para orang yang pandai menafsirkan ikhlas tidak lebih dari ini: Gerak dan diamnya, baik di tengah kesepian atau keramaian hanya karena ALLAH saja, tiada bercampur sedikitpun dengan kehendak nafsu, keinginan diri ataupun keinginan duniawiah lainnya.
  5. Berkata abu Ali ad-Daqqaq: Ikhlas ialah memelihara diri dari ingin diperhatikan makhluk. Sedangkan Shiddiq ialah mensucikan diri dari memenuhi keinginan nafsu.
  6. Berkata Dzan Nun al-Mishri: Tanda ikhlas itu ada 3: Pertama, jika dipuji dan dicela orang tidak berpengaruh baginya. Kedua, jika ia beramal tidak riya’. Ketiga, jika amal yang dilakukan hanya untuk pahala akhirat.

2. Keutamaan Majlis Dzikir: Berzikir dalam majlis adalah disunnahkan, berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
  • Nabi SAW bersabda: “Jika kalian melewati kebun-kebun syurga maka nikamtilah oleh kalian. Para sahabat ra bertanya: Wahai rasuluLLAH, apakah kebun syurga itu? Jawab nabi SAW: yaitu majelis-majelis dzikir, karena ALLAH memiliki malaikat-malaikat yang selalu mencari majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemukannya maka mereka akan duduk bersama-bersama orang yang berdzikir itu.” (HR Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)
  • Dalam hadits lainnya: “Rasul SAW keluar dari rumahnya menuju sebuah majlis tempat berkumpul para sahabatnya, lalu beliau bersabda: Mengapa kalian duduk-duduk bersama disini? Jawab mereka: Kami disini bertahmid atas hidayah dan nikmat yang telah diberikan-NYA kepada kami sehingga kami memeluk agama Islam. Kata nabi SAW: Demi ALLAH, apakah benar kalian duduk disini hanya karena itu? Aku tidak minta kalian bersumpah tapi Jibril telah datang kepadaku dan meberitahukan bahwa ALLAH SWT telah membanggakan kalian dihadapan para malaikat.” (HR Muslim dari Mu’awiyyah)
  • Dalam hadits yang lain disebutkan: Bersabda nabi SAW: “Tiada suatu kaum yang duduk-duduk sambil berdzikir pada ALLAH, melainkan para malaikat datang berkumpul, dan rahmat ALLAH meliputi mereka, dan ketentraman turun kepada mereka, dan nama-nama mereka disebutkan satu-persatu oleh ALLAH SWT dihadapan para malaikat yang ada disisi-NYA.” (HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah)

3. Hendaknya dzikir dilakukan dengan hati dan lisan, dan tidak keras-keras tapi juga tidak terlalu pelan, berdasarkan ayat: “Dan jangan kamu nyaringkan suaramu ketika shalat dan jangan pula kamu merendahkannya, tetapi hendaklah kamu lakukan diantara keduanya.” (QS al-Isra, 17:110)

4. Dzikir bagi orang yang tidak bersuci. Menurut ijma’ ulama boleh saja berdzikir dengan lisan ataupun hati bagi orang yang tidak bersuci, baik ia sedang junub, haidh, keluar darah, nifas. Baik ia membaca tasbih, tahmid, tahlil, shalawat, dll. Adapun jika membaca al-Qur’an maka para ulama berbeda pendapat, menurut mazhab Syafi’i dibolehkan membaca al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas jika telah berwudhu’ atau bertayammum (lih. kitab al-Adzkar, hal. 39, Imam Nawawi).

5. Sikap ketika berdzikir. Hendaknya dengan duduk sopan menghadap kiblat dengan khusyu’. Tetapi jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa dengan kondisi apa saja yang memungkinkan karena hal tersebut merupakan afdhal (keutamaan) saja. Berdasarkan ayat: “Dan orang-orang yang berdzikir kepada ALLAH sambil berdiri, duduk dan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi.” (QS Ali-Imran, 3:190-191), juga dalam hadits: Dari A’isyah ra berkata ; “RasuluLLAH SAW bersandar dipangkuanku sedangkan aku dalam keadaan haidh, dan beliau membaca al-Qur’an.” (HR Bukhari dan Muslim)

6. Tempat yang terlarang berdzikir. Seperti ketika buang air, berhubungan suami-istri, saat mendengarkan khutbah, saat berdiri shalat membaca Fatihah dan saat mengantuk.

HADITS-HADITS TENTANG BERBAGAI DZIKIR YANG SHAHIH
  1. Sabda nabi SAW: “Ada 2 kalimat, yang sangat ringan di lidah, sangat berat dalam timbangan amal, dan sangat dicintai oleh AR-RAHMAN, yaitu SubhanaLLAHi wabihamdiHI subahanaLLAHil ‘azhim[1].”
  2. Sabda nabi SAW: “Barangsiapa mengucapkan La ilaha illaLLAHu wahdaHU la syarikalaHU, laHUl mulku wa laHUl hamdu wa HUWA ‘ala syai’in qadir setiap hari 100 kali, maka bagaikan ia memerdekakan 10 orang budak dan diberikan 100 kebaikan dan dihapuskan 100 keburukannya, dan Syaithan tidak bisa mendekatinya pada hari itu sampai sore, dan tidak ada seorang yang lebih baik darinya kecuali yang membaca lebih banyak darinya. Juga dikatakan: Barangsiapa yang mengatakanSubhanaLLAH wa bihamdiHI setiap hari 100 kali, maka dihapuskan dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan[2].”
  3. Sabda nabi SAW: “Kebersihan itu sebagian dari Iman, mengucapkan alhamduliLLAH itu memenuhi timbangan kebaikan, mengucapkan subahanaLLAH wal hamduliLLAH itu memenuhi langit dan bumi[3].”
  4. Perbuatan nabi SAW: “Adalah nabi SAW jika selesai salam dari shalatnya beliau SAW membaca istighfar 3 kali, lalu membaca ALLAHumma ANTAS salamu wa minKAs salamu tabarakTA ya DZAL Jalali wal Ikram[4].”
  5. Perbuatan nabi SAW: “Adalah nabi SAW jika selesai shalat membaca ; La ilaha illaLLAH wahdaHU la syarikalaHU, laHUl mulku wa laHUl hamdu waHUWA ‘ala kulli syai’in qadir, ALLAHumma la mani’a lima a’thaiTA wa mu’thiya lima mana’TA wala yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu[5].”
  6. Dan sebagainya (bisa dilihat diberbagai kitab hadits shahih)

RABBanaghfirlana wa israfana fi amrina…


REFERENSI:
  1. HR Bukhari, 11/175; Muslim 2694; Tirmidzi 3463.
  2. HR Bukhari 11/168-169; Muslim 2691; Thabrani 1/209; Tirmidzi 3464.
  3. HR Muslim 223.
  4. HR Muslim 591; Abu Daud 1513; Tirmidzi 300, Nasa’i 3/68.
  5. HR Bukhari 2/275; Muslim 593; Abu Daud 1515; Nasa’i 3/70.

al-ikhwan.net
Read On 0 komentar

Keutamaan Berdzikir

''Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan, apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan, tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.'' (QS Annisa [4]: 142).

Ayat di atas menunjukkan bahwa banyak berdzikir kepada Allah SWT merupakan ciri dan identitas seorang Muslim. Dalam ayat di atas Allah SWT menunjukkan bahwa ciri-ciri orang munafik adalah mereka yang sedikit mengingat Allah SWT.

Selain sebagai identitas keislaman, dzikir adalah kebutuhan harian karena dzikir mempunyai faedah yang sangat berguna, baik dalam kehidupan dunia ataupun akhirat kelak.

Di antara keutamaan memperbanyak dzikir adalah, pertama, dengan memperbanyak dzikir maka secara otomatis dosa-dosa pun akan terampuni dan sekaligus mendapatkan pahala yang besar. Sebagaimana firman Allah SWT. ''Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Aku telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.'' (QS Al Ahzab [33]: 35).

Kedua, dzikir akan memperkuat dan menyeimbangkan kejiwaan dalam menghadapi lika-liku kehidupan yang diwarnai dengan banyaknya permasalahan hidup dan berbagai macam musibah, karena dzikir dapat menjadikan hati tenang dan tenteram. Sebagaimana janji Allah SWT, ''Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.'' (QS Arra'd [13]: 28).

Ketiga, dengan banyak mengingat Allah, maka Allah pun akan banyak mengingat kita. ''Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberikan rahmat dan pengampunan).'' (QS Albaqarah [2]: 152).

Keempat, dengan memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, kita akan mendapatkan keberuntungan, baik di dunia ataupun di akhirat, sebagaimana firmannya, ''Dan, sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.'' (QS Al Anfal [8]: 45).

Cara memperbanyak dzikir, yaitu dengan melakukan dzikir dan doa sesuai dengan yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya dalam Alquran dan sunah Nabi, di mana segala aktivitas umat Islam dari mulai tidur sampai tidur kembali, dipenuhi dengan dzikir dan doa. Wallahu a`lam bish-shawab.


Republika,
Keutamaan Berdzikir, Oleh : Wiwik Ariyani
Read On 0 komentar

Dunia Makrifat, Dunia Kebahagiaan

KH Abdullah Gymnastiar


Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Da'tsur melihat Rasulullah SAW duduk sendirian di bawah pohon kurma. Saat itu beliau tengah istirahat. Segera saja ia menghampiri beliau, menghunus pedang lalu menodongkannya ke leher Rasulullah SAW.

"Wahai Muhammad, sekarang engkau sendirian. Siapa yang akan menolongmu?," gertak Da'tsur. Dengan mantap Rasulullah bersabda, "Allah!" Mendengar kata "Allah", Da'tsur langsung gemetar, lemas sekujur tubuhnya, hingga pedang yang dihunusnya jatuh. Rasul segera mengambil pedang itu, lalu balik menodongkannya pada Da'tsur, "Sekarang, siapa yang akan menolongmu?," seru beliau. "Tidak ada wahai Muhammad, kecuali engkau mau menolongku!"

Bagi para ahli makrifat, kisah ini sangat mudah dibaca. Dengan sangat cepat, Rasulullah SAW mampu mengalihkan perhatian dari makhluk kepada kepada Dzat Yang Menguasai makhluk. Mata beliau melihat Da'tsur, namun hati belua fokus kepada Allah yang menguasai Da'tsur. Sehingga apa yang beliau ucapkan sangat powerfull. Kata "Allah" diucapkan sepenuh keyakinan. Itulah yang membuat Da'tsur terguncang.

Saudaraku, ketika kita melihat lukisan yang sangat indah, biasanya pikiran kita langsung tersambung kepada pembuat lukisan tersebut. "Oh sungguh hebat pelukis itu!" Ketika kita melihat robot canggih, kita akan berdecak kagum terhadap insinyur yang merancangnya. Maka, bagaimana mungkin ketika kita melihat kehebatan alam ini, hati dan pikiran kita tidak tersambung kepada Penciptanya? Padahal, semua yang ada di alam ini, termasuk diri kita, mutlak ciptaan Allah! Di sinilah ilmu ma'rifatullah bermain. Andai kita memiliki kesadaran ini, kapan pun, di mana pun dan kapan pun yang ada hanyalah keterpesonaan pada ke-Mahabesar-an Allah. Hati dan lisan kita akan sulit berhenti memuji dan berzikir kepada-Nya.

Salah satu kunci makrifat adalah kecepatan kita dalam mengalihkan fokus pandangan dari makhluk kepada Al-Khaliq. Mata melihat makhluk, telinga mendengar suara, kulit merasa, namun hati dan pikiran yang mengendalikan semua itu terhubung dan tembus kepada Allah. Nah, kecepatan kita mengalihkan fokus pandangan, akan menentukan kualitas hidup dan kebahagiaan diri kita. Semakin cepat mengalihkan perhatian kepada Allah, semakin cepat pula kita meraih kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan hakiki. Sebab, dunia ma'rifat adalah dunia kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan.

Allah Swt. berfirman, Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS Al Baqarah [2]: 155-157).

Karena itu, jangan sampai kesibukkan kita bekerja, berbisnis, dan hiruk-pikuk duniawi melalaikan kita dari mengingat Allah. Sungguh tidak akan pernah bahagia orang yang jauh dari Allah. Dunia bukan hal yang bisa mendatangkan kebahagiaan. Dunia sekadar permainan belaka (QS Muhammad [47]: 36). Dunia sekadar sarana untuk mendekat kita pada Allah.

Maka, tidak ada pilihan bila kita ingin bahagia, kecuali hati kita tembus kepada Allah. Mata pada benda, hati pada Allah. Intinya, nikmat hidup bukan pada yang ada dan tiada. Nikmat hidup hanya ada bila kita selalu dekat dengan Yang Selalu Ada. Itulah para ulil albab. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka" (QS Ali Imran [3]: 191). Wallaahu a'lam.


Tabloid JUMAT
Republika
Read On 0 komentar

Dzikir Setiap Saat

"Hai orang orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan, bertasbihlah kepada-Ku diwaktu pagi dan petang." (QS Alahzab [33]: 41-42).

Allah SWT senantiasa menyanjung dan memuji hamba-hambanya yang selalu berdzikir. Dzikir adalah ruh dari perbuatan baik sebagai bentuk ketaatan menjalani perintah-Nya. Sebuah perbuatan yang baik jika tidak disertai dzikir, maka ia adalah laksana tubuh yang tidak mempunyai ruh. Tubuh yang tidak mempunyai ruh, maka ia dinamakan sebagai mayat. Mayat tak lebih berharga pula, maka dia disebut bangkai.

Shalat, berhaji, dan berjihad hingga ibadah-ibadah sunah lainnya haruslah senantiasa disertai pula dengan dzikir kepada-Nya: "... Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS Aljumu'ah [62]: 10).

Allah telah menegaskan berulang-ulang bahwa kesuksesan dalam beribadah dan kebahagiaan itu terkait dengan memperbanyak mengingat-Nya. Maka, janganlah kamu sekali-kali lupa kepada perintah-perintahnya itu. "Dan, sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS Alaraaf [7]: 205). "Sesungguhnya, perumpamaan orang orang yang berdzikir kepada Allah itu dan orang-orang yang tidak berdzikir kepada-Nya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati." (HR Abu Musa).

"Perumpamaan rumah yang disebut dengan nama Allah di dalamnya dan rumah yang tidak disebut dengan nama Allah di dalamnya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati." (HR Imam Muslim).

Maka, sesungguhnya mereka yang berdzikir itu ibaratnya seperti orang yang hidup dalam rumah kehidupan. Sedangkan, orang yang lalai berdzikir kepada Allah itu seperti orang yang mati dalam rumah kematian. Jasad orang yang lalai berdzikir kepada Allah adalah kuburan bagi hati mereka, dan hati mereka itu seperti mayat yang ada dalam kuburan.

Orang yang senantiasa tidak lalai mengingat Allah di kala duduk dan berbaring, di kala pagi dan petang, sesungguhnya mereka telah hidup sesuai dengan firman dan petunjuk Allah SWT. Merekalah orang yang beruntung menjalani hidup di dalam rumah kehidupan dunia yang penuh berbagai cobaan sebelum kematian sesungguhnya datang menghampiri.

Republika, Hikmah
Dengan Dzikir
Oleh : Ridho Adriansyah
Read On 0 komentar

Bersyukur Dalam Kesempitan

''Dan, hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.'' (QS Saba' [34]: 13).

Dengan wajah sedih, seorang laki-laki datang kepada seorang ulama. Dia mengeluhkan kefakiran dan berbagai kemalangan hidup yang dialaminya. Ulama tersebut berkata, ''Apa kamu mau penglihatanmu diambil dan diganti dengan seribu dinar?'' Orang itu berkata, ''Tidak.''

Sang ulama bertanya lagi, ''Apa kamu senang menjadi orang bisu dan diberi seribu dinar?'' Orang tersebut menjawab, ''Tidak.'' Sang ulama yang dikenal saleh itu kembali bertanya, ''Apa kamu mau dua tangan dan dua kakimu buntung, lalu kamu mendapatkan dua puluh ribu dinar?'' Orang tersebut lagi-lagi menjawab, ''Tidak.''

''Apa kamu mau jadi orang gila dan dikasih sepuluh ribu dinar?'' tanya sang ulama lagi. Dan, sekali lagi orang tersebut mengatakan, ''Tidak.'' Maka, sang ulama bijak itu pun berkata, ''Terus, apa kamu ini tidak malu kepada Tuhanmu yang telah memberimu harta senilai puluhan ribu dinar?'' Kisah ini berbicara, betapa banyak orang salah persepsi, dikiranya nikmat hanya sebatas harta dan materi semata. Mereka tidak menyadari bahwa nikmat Allah meliputi segala hal: keimanan, kesehatan, keluarga, tempat tinggal, kepandaian, teman yang baik, pemimpin yang adil, tumbuh-tumbuhan, makanan, dan sebagainya. Itu semua adalah nikmat yang harus disyukuri, baik kita memintanya maupun tidak.

Untuk menjadi orang bersyukur, setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, mengetahui apa itu nikmat dan meyakini sepenuhnya bahwa nikmat tersebut adalah pemberian Allah. Kedua, bahagia dan gembira dengan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Dan, ketiga, melakukan hal-hal yang disukai oleh Pemberi Nikmat, baik melalui lisan dengan ucapan ''Alhamdulillah'' maupun melalui perbuatan-perbuatan yang disukai-Nya.


Bersyukur dalam Kesempitan
Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
Republika
Read On 0 komentar

Kepedulian Sosial Dalam Pandangan Islam

Dalam situasi kemiskinan yang makin bertambah dewasa ini, mereka yang dilimpahi rezeki seyogianya turut membantu kaum miskin dan papa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Hadid (57) ayat 7, ''Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.''

Sesuai dengan anjuran Alquran itu kini semakin jelas bahwa ketidakpedulian kaum kaya terhadap penderitaan kaum miskin merupakan bahaya terbesar yang telah mengancam hidup masyarakat. Dan kaum kaya sendirilah yang akan menjadi korban ancaman ini. Sedangkan bagi kehidupan bernegara, semakin melebarnya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin merupakan ancaman paling utama stabilitas nasional.

Agar hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi, Islam sejak lebih dari 14 abad lalu telah mengantisipasi ancaman ini dengan mewajibkan mereka yang berpunya untuk berzakat. Tak hanya itu, mereka yang berpunya juga dituntut menginfakkan hartanya guna meringankan kehidupan kaum miskin. ''Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.'' (Ali Imran [3]: 92).

Menurut ajaran Islam, setiap orang miskin patut memperoleh pertolongan, dan tentu saja merupakan tanggung jawab pemerintah dan orang yang diberi kelimpahan rezeki untuk memberikan pertolongan itu. ''Manusia yang terbaik adalah yang paling berguna bagi masyarakatnya,'' demikian sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis. Dalam hadis lain yang Muttafaq 'Alaih, Nabi juga bersabda, ''Pada hari kiamat, manusia yang menduduki tempat tertinggi di sisi Allah adalah orang yang paling banyak memajukan kesejahteraan hamba-hamba Allah.''

Kini makin banyak dikumandangkan kehidupan yang harmonis antarmasyarakat. Untuk menciptakan kehidupan yang demikian Islam mengingatkan agar setiap individu saling membantu. Dengan kehidupan yang demikian, setiap individu dalam masyarakat akan saling memperoleh manfaat dari upaya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan bersama mereka. Nabi SAW mengibaratkan masyarakat yang demikian seperti satu tubuh, yang apabila satu bagian merasa sakit, bagian lainnya turut menderita.

Islam yang mengakui dan menjunjung tinggi hak milik seseorang tidak membenarkan umatnya mengabaikan mengumpulkan harta. Tapi, Allah juga mengingatkan bahwa harta benda itu merupakan ujian. Semoga hati kita tergerak untuk menaati anjuran Allah untuk memiliki kepedulian sosial membantu mereka yang papa dan miskin.


Republika
Kepedulian Sosial
Oleh : Alwi Shahab
Read On 0 komentar

Mendamaikan Sesama Ummat (Islah)

Oleh : Muhbib Abdul Wahab

''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat makruf (baik), atau melakukan islah (perdamaian) di antara manusia. Dan, siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberinya pahala yang besar.'' (QS Annisa' [4]: 114).

Islah dari segi bahasa berarti memperbaiki, mendamaikan, dan mereformasi. Pelakunya disebut muslih. Seseorang dapat disebut muslih, jika dia memiliki sifat shaleh. Karena itu, islah di satu segi merupakan upaya aktualisasi kesalehan personal sekaligus kesalehan sosial; dan di segi lain mengandung usaha menciptakan kesalehan komunal dan kultural.

Islam itu agama perdamaian dan antikekerasan. Ketika bertemu sesama, setiap Muslim sangat dianjurkan bertegur sapa, memberi senyum, dan mengucapkan salam. Ucapan salam adalah doa sekaligus identitas Muslim untuk senantiasa berdamai, berdoa untuk kerahmatan dan keberkahan sesamanya. Tidak ada yang lebih berharga dalam hidup ini selain perdamaian, keberkahan, dan hidup penuh rahmat dari Allah SWT.

Karena itu, berbuat islah merupakan kewajiban setiap Muslim, lebih-lebih yang bertengkar atau bermusuhan. Bertengkar dan bertindak kekerasan dan anarki itu hanya akan menghabiskan energi secara sia-sia, bahkan cenderung memperburuk citra Islam. Musuh-musuh Islam pasti bersorak-sorai melihat umat Islam saling bertikai.

''Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.'' (QS Al-Anfal [8]: 46).

Islah merupakan kunci penyelesaian masalah dan konflik sosial sekaligus awal terwujudnya kerukunan dan toleransi. Oleh sebab itu, ketika mendapati dua orang sahabat, Ka'ab ibn Malik dan Ibn Haidar bertengkar di Masjid Nabawi, dan suara pertengkaran itu terdengar sampai rumah Rasulullah SAW, beliau langsung keluar melerai dan mendamaikan kedua sahabat Anshar itu. Keduanya diminta untuk saling memaafkan, bertobat kepada Allah, dan berjabat tangan.

Nabi SAW kemudian bersabda, ''Maukah kalian aku tunjukkan perniagaan yang bermanfaat? Engkau mendamaikan sesama manusia jika mereka saling bermusuhan; dan engkau akrabkan mereka, jika mereka saling menjauh.'' (HR Albazzar).


sumber : Hikmah Republika
Read On 0 komentar

Menghindari Perpecahan

Oleh : Dadang Khaerudin

Pertengkaran atau perpecahan (iftiraq) suatu umat sudah diingatkan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah menyatakan, ''Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan....''

Dalam skala kecil, perpecahan di tubuh umat Islam sudah ada sejak zaman Rasulullah masih hidup. Namun, Rasulullah tanggap untuk segera menyelesaikannya. Perpecahan akan membawa dampak yang sangat buruk bagi eksistensi umat Islam, apalagi perpecahan yang terjadi itu adalah antargolongan, kelompok, atau lembaga.

Karena itu, ajaran Islam memberikan rambu-rambu kepada setiap umatnya agar tidak terperosok pada perpecahan. Berbagai peringatan dan ancaman telah Allah SWT berikan kepada setiap hamba-Nya yang terlibat perpecahan sehingga dapat mencegah terjadinya perpecahan yang lebih besar yang dilakukan secara berkelompok. Karena bagaimana sebuah perpecahan besar akan terjadi antarkelompok, bila masing-masing individu telah terbina dan dewasa dalam menyikapi segala hal yang dapat memancing perpecahan tersebut.

Rambu-rambu itu seperti berikut ini. Pertama, pertengkaran adalah perbuatan yang tidak dihalalkan alias diharamkan bila dilakukan melebihi tiga hari. Dengan ini, pertengkaran atau perpecahan merupakan perbuatan dosa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya, ''Haram bagi setiap muslim untuk bertengkar melebihi tiga hari.''

Dan, kedua, perpecahan atau pertengkaran dapat menyebabkan tidak diterimanya shalat seorang Muslim. Berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah yang berbunyi, ''Terdapat tiga golongan yang shalatnya tidak dapat diterima meskipun hanya sejengkal, yaitu imam yang dibenci makmumnya, istri yang dimurkai suaminya (karena kedurhakaannya), dan dua orang yang sedang bertengkar.''

Karena itulah kemudian Allah memerintahkan untuk selalu mempererat tali persaudaraan dan memperkokoh tali persatuan serta menjauhi perpecahan. Allah pun telah mengingatkan kita dalam firman-Nya, ''Dan, berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah. Dan, janganlah kamu bercerai-berai.'' (QS Ali Imron [3]: 103). Maka, mari jaga diri kita untuk tidak jatuh dalam pertikaian sekecil apa pun. Damai itu indah, bukan?

sumber : Republika
Read On 0 komentar

Filosofi Sapu Lidi (Menghindari Perpecahan)

Oleh : Endah Nur Rohmi

''Dan, janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.'' (QS Ali Imraan [3]: 105).

Mari, kita mengingat perumpamaan tentang sapu lidi. Beberapa lidi yang disatukan, kemudian diikat bagian pangkalnya, dapat digunakan untuk bersih-bersih ketimbang hanya sebatang saja. Filosofi di balik perumpamaan itu tak lain adalah persatuan.

Kehidupan manusia dapat berjalan baik, sebagaimana sebuah sapu lidi, jika manusia mempererat ikatannya. Disadari ataupun tidak, manusia membentuk kumpulan berdasarkan ikatan tertentu. Umat Islam merupakan kumpulan dari para Muslim yang terikat oleh kesamaan akidah.

Menjadi ujian bagi akidah umat Islam manakala sebuah konflik memicu perpecahan di dalamnya. Akankah kita membiarkan perselisihan itu terus terjadi dan melemahkan kekuatan umat Islam? Apakah kita mengoreksi diri? Sudahkah akidah Islam dipegang teguh?

Akidah itu mewujud dalam keyakinan di hati, ucapan, dan tindakan. Konsekuensinya adalah bersedia menjadi insan yang bertakwa. Kuat lemahnya akidah tampak dari sejauh mana memosisikan perintah dan larangan-Nya.

Di sinilah letak fungsi koreksi, diperlukan orang lain untuk menilai perbuatan kita. Karena itu, ada kewajiban untuk saling menasihati (QS Al Ashr [103]:3). Hanya saja, manusia memang berbeda dengan lidi. Terdapat potensi perbedaan satu sama lain. Terkait hal ini, Sang Pencipta telah memberikan batas-batasannya.

Selama itu tidak mengutak-atik akidah yang sifatnya tidak dapat diganggu gugat, perbedaan tidak sepatutnya menjadi persoalan. Ketika akal manusia tidak digunakan untuk memikirkan kebenaran secara benar dan tindakan yang diambil tidak pula tepat serta memperturutkan hawa nafsu dengan enggan mendengarkan nasihat orang lain, perselisihan pun muncul yang mengakibatkan perpecahan.

Jika perselisihan itu timbul dan perpecahan umat ada di depan mata, satu-satunya jalan adalah kembali kepada akidah Islam. Sebagaimana lidi yang dengan pasrah menerima dirinya diikat, umat Islam seharusnya juga demikian, bersedia dan rela diikat dengan akidah.

Nasihat ini berlaku bagi semua pihak di dalam umat ini, baik aparat pemerintah maupun masyarakat umum. Akidah merupakan keterangan yang jelas dari Sang Pencipta. Tentunya, kita tidak ingin umat berselisih dan bercerai-berai, padahal akidah telah mengikat kita. Atau, maukah kita termasuk orang-orang yang disebutkan ayat di atas? Naudzubillahi min dzalik!

sumber : Republika
Read On 0 komentar

Amal Yang Hilang Ketika Kita Asyik Menonton Televisi

Amal Yang Hilang Ketika Kita Asyik Menonton Televisi

TV atau televisi adalah satu benda yang telah menjadikan kita benar2 'terpenjara'. Kenapa demikian? Karena dia memaku kita di tempat sebagai penonton.

Kenapa kita rela 'diatur' televisi sebagai penonton? Kita ‘dipaksa’nya duduk terfokus padanya, kita ‘diatur’ nya supaya berada di depannya setiap waktu-waktu tertentu, emosi dan akal kita juga ‘diatur’nya agar sesuai dengan maunya televisi. Televisi juga membentuk cara berpikir kita sesuai dengan kemauannya, ini dilakukannya secara bertahap, tanpa disadari dan susah dibuktikan. Seorang anak bisa jadi cepat akrab dengan teman barunya karena memiliki ‘bahasa’ yang sama yang diajarkan televisi. Demikian kuat pengaruh televisi, sayangnya kebanyakan digunakan tidak untuk mendidik secara baik dan benar.

Stop jadi penonton televisi yang buruk, mulailah menjadikan diri Anda sebagai orang yang ditonton, bukan oleh penonton televisi tapi oleh makhluk lain. Bersiaplah Anda menerima honor yang luar biasa besarnya. Siapa yang dapat memberi honor sebanyak itu? Siapa lagi kalau bukan Allah azza wa jalla yang khasanah-Nya maha luas. Kalau saja seluruh orang di bumi jadi pelakon utama dan Allah (swt) membayar semuanya dengan bayaran yang paling tinggi, niscaya tidak akan berkurang milik-Nya kecuali hanya seperti satu tetes air di ujung jarum dibanding melimpahnya air samudra.

Maka ketahuilah, bahwa mengalihkan mata Anda dari televisi untuk satu kali saja pandangan sayang yang diarahkan kepada orangtua kita yang sudah lanjut usia, Allah (swt) akan mengganjari kita dengan bayaran yang nilainya setara dengan haji dan umrah yang mabrur. Kita dapat melakukan hal itu ber-kali2, bahkan kita dapat melakukannya dalam hari yang sama. Padahal untuk setiap haji yang mabrur ada jaminan hidup mulia di dunia dan di akhirat.

Mengalihkan waktu menonton televisi Anda menjadi suatu kunjungan kepada handai tolan akan dibayar dengan rejeki, keberkahan dan panjang umur. Belum lagi bonus2 yang berlipat ganda bagi setiap zakat, sedekah, infak atau hadiah yang kita berikan kepada mereka. Juga ganjaran dari Allah (swt) bagi setiap langkah kaki dan ayunan tangan, serta dari setiap kata2 yang baik yang terucap dan dari setiap titik peluh yang menguap ataupun yang menetes.

Apalagi ketika Anda mengganti waktu menonton televisi Anda dengan perjalanan amar makruf nahi munkar. Ingatlah, saat kita terlelap ketika di jalan Allah, tidak akan dapat ditandingi oleh orang yang tinggal (di kampungnya) yang berterusan melakukan puasa pada siang hari dan tahajud pada malam harinya kecuali dengan cara keluar di jalan yang sama. Padahal untuk setiap satu puasa dan setiap satu rakaat shalat ada ganjaran yang nilainya sangat yang besar di sisi Allah (swt).

Sungguh, kalau saja kita mau jadi pelaku utama dari drama kehidupan ini, niscaya bukan saja makhluk2 yang ada di sekitar kita yang menyaksikan setiap perbuatan kita, akan tetapi juga mereka yang ada di belahan bumi lain dan mereka yang tinggal di belahan alam lain. Bukan itu saja, orang2 yang kita tonton pada masa yang lalu akan menjadi penonton2 kita kelak.

Oh… ternyata kita baru tahu bahwa kita benar2 tidak memerlukan televisi, sebagaimana TV yang kita kenal saat ini. Sungguh, kalau sudah begini keadaannya, maka nyata benar bahwa tidak ada waktu untuk duduk di depan televisi, tidak juga menonton tayangan2-nya. Kita, ummat Rasulullah (saw), adalah pelaku utama, bukan penonton dan bukan pula objek bagi iklan2 murahan. Subhanallah.

(Sumber tulisan oleh : Subhan ibn Abdullah, 2005. Mohon maaf bila Penjaga Kebun mengedit beberapa kata, semoga Allah mengkaruniakan pahala yang berlipat dengan perubahan ini.)
Read On 0 komentar

Bersilaturahim Karena Allah

Suatu saat , selepas melaksanakan shalat di Masjid Nabawi, Madinah, Rasulullah SAW berbagi sapa dan berbincang-bincang dengan para sahabat tentang pelbagai hal. Dalam pertemuan tersebut, beliau berupaya memberikan dorongan kepada kaum muslim untuk saling mencintai karena Allah dan demi meraih ridha-Nya.

Beliau pun menceritakan sebuah kisah. “Wahai sahabat-sahabatku,” tutur beliau, ”suatu ketika ada seorang pria berkunjung kepada saudaranya di jalan Allah. Kemudian, Allah Swt mengirimkan malaikat untuk bertanya kepadanya.

Ketika bertemu dengan orang itu, malaikat itu pun bertanya,”Wahai saudaraku ! Engkau hendak kemana?’
“Aku hendak mengunjungi saudaraku si Fulan!” jawab orang itu.
“Apakah keperluanmu kepadanya?” tanya sang malaikat penuh selidik.
“ Tidak ada !” jawab orang itu.
“Apakah dia mempunyai hubungan kekeluargaan denganmu?” tanya sang malaikat lebih jauh lagi.
“Tidak!” jawab orang itu.
“Apakah karena dia pernah memberimu sesuatu?” tanya sang malaikat sekali lagi.
“Tidak !”, jawab orang itu.
“Kalau begitu, apa sebabnya engkau berkunjung kepadanya?” tanya sang
malaikat.
“Aku mencintainya di jalan Allah!” jawab orang itu.
“Wahai saudaraku,” ucap sang malaikat memberi tahu orang itu, “sesungguhnya Allah Swt.mengutusku kepadamu untuk menerangkan bahwa Dia mencintaimu karena cintamu kepadanya, dan Dia mengharapkan surga untukmu!”

Sumber : buku “Mutiara Akhlak Rasulullah SAW” , penulis : Ahmad Rofi’ Usmani
Read On 0 komentar

Sikap Sombong, ’Saya Lebih Baik Dari Dia’ (Ana Khairun Minhu)

Sombong, barangkali sama tuanya dengan peradaban manusia. Iblis dikutuk dan dikeluarkan dari surga juga lantaran sombong. Ia menolak bersujud kepada Adam as, manusia pertama, karena merasa dirinya lebih baik.

"Allah berfirman: 'Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang (yang) lebih tinggi?' Iblis berkata: 'Aku lebih baik daripadanya, karena engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah'." (Shaad: 75--76).

"Ana khoirun minhu (saya lebih baik dari dia)," kata Iblis. Merasa diri lebih baik dari pada yang lain itulah sombong. Dan akibat sombong, iblis dikutuk.

"Allah berfirman: 'Maka keluarlah kamu dari surga, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan." (Shaad: 77--78).

Kita berlindung kapada Allah dari perbuatan sombong, baik dalam bentuk sifat, sikap maupun perilaku, karena ia dapat menjadi penghalang masuk jannah. Rasulullah saw bersabda, "Tidak akan masuk jannah (surga) seseorang yang terdapat dalam hatinya sifat sombong (kibr) meskipun hanya sebesar biji sawi." (HR Muslim).

Berhati-hatilah kita, karena sifat, sikap, dan perilaku merasa lebih baik, lebih mulia bisa menimpa siapa saja. Seorang tokoh yang memiliki pengikut banyak, reputasi yang luas juga berpotensi untuk menyombongkan diri lantaran ketokohannya dan pengikutnya yang banyak. Seorang yang memiliki tubuh kuat, atletis, jawara, kadang tergoda memamerkan bentuk tubuhya, disamping tidak jarang gampang terpancing perkelahian, dalam urusan kecil sekalipun, hanya lantaran merasa dirinya pendekar. Seorang rupawan juga kadang tergoda untuk membanggakan kecantikannya dan meremehkan yang tidak seganteng dan secantik dirinya, bahkan sampai mencacat bentuk fisik orang lain. Seorang hartawan sering tergoda membanggakan pakainnya yang bagus, kendaraannya yang mewah, rumahnya yang mentereng dengan melihat sebelah mata pada kaum alit yang kumal, kotor, kolot dan pinggiran. Seorang pejabat yang kebetulan pangkatnya lebih tinggi kadang merasa lebih baik dari bawahannya. Presiden merasa lebih baik dari menteri, jenderal merasa lebih baik dari kopral, direktur merasa lebih baik dari karyawan dan seterusnya.

Rasa sombong juga dapat menghinggapi ilmuwan. Ilmunya setinggi langit, titelnya profesor doktor, hafal Alquran, dapat berbicara dalam banyak bahasa. Tetapi, ia tidak sabar untuk menahan dirinya merasa lebih baik dari masyarakatnya. Seorang bangsawan, karena merasa berasal dari keturunan yang mulia, aristokrat, darah biru, kadang merasa tidak sepadan jika harus bersanding, bergaul dengan yang bukan bangsawan.

Bahkan sifat sombong juga dapat menimpa seorang ahli ibadah atau ulama. Sosok yang secara kasat mata (dhahir) terlihat wara' (sangat hati-hati bersikap), zuhud (sederhana), bertahajud setiap hari, berpuasa senin-kamis, sholat rawatibnya tidak pernah tertinggal. Karena salatnya rajin sekali hingga jidatnya hitam. Namun, ternyata ia tergoda untuk menganggap dirinya orang yang paling suci, paling baik, paling takwa. Orang lain dianggap tidak ada apa-apanya dibanding dia.

Kisah Abu Dzar patut kiranya menjadi pelajaran. Suatu ketika beliau sedang marah kepada seorang laki-laki sampai terucap, "Hai anak wanita hitam." Rasulullah mendengar hal itu, kemudian bersabda, "Wahai Abu Dzar, tidak ada keutamaan bagi kulit putih atas kulit hitam," (dalam riwayat lain ditambahkan, "melainkan karena takwa"). Mendengar hal itu Abu Dzar sangat
menyesal hingga meminta orang tadi untuk menginjak pipinya. (HR Imam Ahmad).

Allah SWT berfirman : "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS, Luqman: 18).

Perihal sombong, Rasulullah mendefinisikan dalam sebuah riwayat, "Kibr (sombong) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR Muslim). Dua kata kunci: menolak kebenaran dan meremehkan manusia, itulah sombong. Ketika ada rasa ingin menonjolkan dan membanggakan diri, ketika hati kita keras menerima nasihat terlebih dari yang lebih yunior, ketika pendapat kita enggan untuk dibantah bahkan tidak jarang dipertahankan dengan dalil yang dipaksakan, ketika kita tersinggung tidak diberi ucapan salam terlebih dahulu, ketika kita berharap tempat khusus dalam sebuah majlis, ketika kita tersinggung titel dan jabatan yang dimiliki tidak disebut, maka jangan-jangan virus takabbur telah meracuni diri kita.

Imam Ghozali mengajari cara mawas diri agar tidak terjebak dalam sikap merasa lebih baik. Ketika kita melihat seseorang yang belum dewasa, kita bisa berkata dalam hati: "Anak ini belum pernah berbuat maksiat, sedangkan aku tak terbilang dosa yang telah kulakukan, maka jelas anak ini lebih baik dariku." Ketika kita melihat orang tua, "Orang ini telah beramal banyak sebelum aku berbuat apa-apa, maka sudah semestinya ia lebih baik dariku." Ketika kita melihat seorang 'alim, "Orang ini telah dianugerahi ilmu yang tiada kumiliki, ia juga berjasa telah mengajarkan ilmunya. Mengapa aku masih juga memandang ia bodoh, bukankah seharusnya aku bertanya atas yang perlu kuketahui?" Ketika kita melihat orang bodoh, "Orang ini berbuat dosa karena kebodohannya, sedangkan aku? Aku melakukannya dengan kesadaran bahwa hal itu maksiat. Betapa besar tanggung jawabku kelak.

Lantas, atas dasar apa kita membanggakan diri ? Bukankah dunia ini bersifat fana? Bukankah kekayaan, pangkat, kecantikan, keturunan, pengikut, dan ilmu merupakan anugerah Allah yang bersifat sementara dan ujian bagi setiap manusia? Perbedaan fisik manusia tidak permanen dan ditujukan untuk menguji kesabaran dan akhlak manusia. Semuanya dapat dicabut sewaktu-waktu jika Allah menghendaki. Ia pun dapat merubahnya sekejab, si cantik dapat diubah-Nya menjadi si buruk rupa, sang jagoan bisa menjadi si buta, si kaya dapat bangkrut seketika, sang pejabat menjadi penghuni penjara, dan seterusnya.

Allah hanya melihat ketakwaan seorang hamba. Bukan kekayaan, pangkat, fisik atau keturunan. Maka sungguh rugi kalau masih ada anak manusia yang masih merasa ana khairun minhu (saya lebih baik dari dia).


Sumber : Roni Suarsa, di www.Al-Islam.co.id
Read On 0 komentar

2 Jenis Orang Tamak

Ada dua orang yang tamak dan masing-masing tidak akan kenyang. Pertama, orang tamak untuk menuntut ilmu, dia tidak akan kenyang. Kedua, orang tamak memburu harta, dia tidak akan kenyang.

(Nabi Muhammad saw) Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas ra di atas, ada dua karakter orang tamak yang tidak akan pernah puas terhadap apa yang dimilikinya dan senantiasa berusaha untuk menambahnya.

Namun, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda menurut sisi pandang Islam.

Adalah terpuji jika ada seorang Muslim yang tamak terhadap ilmu. Muslim seperti ini senantiasa menginginkan derajat keilmuan, akhlak, amal kebajikan, dan usahanya untuk meraih kemuliaan, yang akan mengetuk hatinya untuk menapaki tangga kesempurnaan sebagai seorang Muslim. Ia selalu memanfaatkan segala kesempatan untuk mengkaji Islam dalam memecahkan problem kehidupan manusia dengan hikmah. Sabda Rasulullah saw, “Ilmu laksana hak milik seorang Mukmin yang hilang, di manapun ia menjumpainya, di sana ia mengambilnya,” (HR Al Askari dari Anas ra).

Sedangkan ketamakan terhadap harta hanyalah akan menghasilkan sifat buas, laksana serigala yang terus mengejar dan memangsa buruannya walaupun harta itu bukan haknya. Fitrah manusia memang sangat mencintai harta kekayaan dan berhasrat keras mendapatkannya sebanyak mungkin dengan segala cara dan usaha. Firman Allah S.W.T: Katakanlah (hai Muhammad), jika seandainya kalian menguasai semua perbendaharaan rahmat Tuhan, niscaya perbendaharaan (kekayaan) itu kalian tahan (simpan) karena takut menginfakkannya (mengeluarkannya). Manusia itu memang sangat kikir. (QS Al Isra': 100).

Rasulullah saw bersabda, “Hamba Allah selalu mengatakan, 'Hartaku, hartaku', padahal hanya dalam tiga soal saja yang menjadi miliknya yaitu apa yang dimakan sampai habis, apa yang dipakai hingga rusak, dan apa yang diberikan kepada orang sebagai kebajikan. Selain itu harus dianggap kekayaan hilang yang ditinggalkan untuk kepentingan orang lain,” (HR Muslim).


Seorang Mukmin adalah orang yang meyakini bahwa rezeki telah ditentukan oleh Allah S.W.T. Dia juga yakin bahwa setiap manusia tidak akan menemui ajalnya sebelum semua rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah dicukupkan kepadanya.

Ia merasa cukup terhadap harta yang telah diperolehnya dan menyadari ada hak orang lain atas kelebihan harta yang dimilikinya. Ia infakkan sebagian hartanya di jalan Allah untuk membantu saudara-saudaranya yang dilanda kelaparan dan kekurangan. Demikianlah yang patut dilakukan seorang Muslim dan ia tidak lagi silau terhadap kekayaan orang lain yang dihimpun karena ketamakan.


Rasulullah bersabda, “Tidak ada iri hati kecuali dalam dua perkara, (yaitu) orang yang dikaruniai harta kekayaan dan dihabiskan untuk menegakkan kebenaran, dan orang yang dikaruniai hikmah kemudian ia melaksanakan dan mengajarkannya (kepada orang lain).”

(Sumber : Edi S. Kurniawan, Muhammad Haryadi, e-mail : Riyadi_albatawy@yahoo.co.id)
Read On 0 komentar

Berghibah (bergosip) Seperti Memakan Bangkai Saudara Sendiri

Dari 'Ubaid r.a, dia berkata : "Di masa Rasulullah SAW, beliau memerintahkan orang-orang berpuasa selama satu hari. Lalu mereka pun berpuasa. Saat itu ada dua orang wanita berpuasa, dan mereka sangat menderita karena lapar dan dahaga pada sore harinya. Kemudian kedua wanita itu mengutus seseorang menghadap Rasulullah SAW, untuk memintakan izin bagi keduanya agar diperbolehkan menghentikan puasa mereka.

Sesampainya utusan tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau memberikan sebuah mangkuk kepadanya untuk diberikan kepada kedua wanita tadi, seraya memerintahkan agar kedua-duanya memuntahkan isi perutnya ke dalam mangkuk itu. Ternyata kedua wanita tsb memuntahkan darah dan daging segar, sepenuh mangkuk tersebut, sehingga membuat orang-orang yang menyaksikannya terheran-heran. Dan Rasulullah SAW bersabda : "Kedua wanita ini berpuasa terhadap makanan yang dihalalkan Allah tetapi membatalkan puasanya itu dengan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Mereka duduk bersantai sambil menggunjingkan orang-orang lain. Maka itulah 'daging-daging' mereka yang dipergunjingkan." (Hadits Riwayat Ahmad)

“Orang yang menggunjing dan mendengarkan gunjingan, keduanya bersekutu dalam perbuatan dosa.” (Hadits Riwayat Ath-Thabrani)

"Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita dusta dan banyak memakan yang haram." (Al-Qur'an Surat Al-Maidah : 42)

Allah S.W.T berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. " (Al-Qur'an Surat Al-Hujuraat:12)

(Sumber : Edi S. Kurniawan, Muhammad Haryadi, e-mail : Riyadi_albatawy@yahoo.co.id)
Read On 0 komentar

Orang Yang Diperkenankan Untuk Meminta-minta

Suatu ketika, seperti biasanya, Rasulullah Saw. bertemu dan berbincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Mereka memperbincangkan pelbagai hal. Ketika mereka sedang asyik berbincang, seorang sahabat beliau bernama Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali muncul. Seusai mengucapkan salam kepada beliau dan orang-orang yang hadir di serambi itu, Qabishah kemudian mengeluhkan ke­pada beliau tanggungan berat yang dipikulnya saat itu.

Menurutnya, tanggungan tersebut terlampau berat bagi­nya, di luar kemampuannya. Mendengar keluhan demikian, Rasulullah Saw. terhe­nyak sejenak, antara sedih dan termangu. Tetapi, beberapa saat kemudian, beliau berkata, "Qabishah, bersabarlah! Tunggulah sampai ada sedekah yang akan datang kepada kami. Jika sedekah tersebut datang, kami akan perintahkan agar sedekah itu diberikan kepadamu."

Mendengar jawaban Rasulullah Saw., Qabishah kemu­dian dengan malu-malu bertanya, "Wahai Rasul! Sambil menunggu sedekah itu datang, bolehkah aku meminta­minta?" "Qabishah!" jawab Rasulullah Saw. yang beberapa saat termangu mendengar pertanyaan tersebut. "Sesungguh­nya meminta-minta itu tidak diperkenankan kecuali bagi salah satu dari tiga kelompok: (1) orang yang memikul be­ban berat di luar kemampuannya; dia diperkenankan me­minta-minta sampai tercukupi sekadar kebutuhannya lalu berhenti meminta-minta, (2) orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya; dia diperkenankan meminta-minta sampai memperoleh sekadar keperluan hidupnya, (3) orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang normal di kaumnya memandangnya benar-benar miskin; dia diperkenankan meminta-minta sampai dia memperoleh sekadar keperluan hidupnya. Di luar ketiga kelompok tersebut, wahai Qabishah, meminta-minta tidak diperkenankan; dan jika ada orang di luar ketiga kelompok itu tetap meminta-minta, maka harta haram telah dima­kan."

[Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani]
DeleteReplyForwardSpamMove...
Read On 0 komentar

Sedekah Yang Salah Alamat

Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau laku­kan, berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan me­reka, beliau berkata kepada mereka,
"Suatu saat ada seorang pria berkata kepada dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata, perempuan itu seorang pezina. Sehingga, keja­dian itu menjadi perbincangan khalayak ramai.

"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!'

"Maka, pria itu kemudian mencari seseorang yang menu­rutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sede­kah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah itu.

"Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergu­mam,'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sede­kahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!'

Maka, dia kemudian, dengan cermat, men­cari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahui­nya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu sampai kepada pria yang bersedekah itu.

Mendengar kabar demikian, pria itu pun mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji ha­nya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pen­curi!'

"Pria itu kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu. Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia menyedekahkan sebagian rezeki yang dikaru­niakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas menerima sedekah itu."

(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
Read On 0 komentar

Hidup Zuhud

Manusia adalah makhluk pengejar kebahagiaan. Namun, tak semua manusia mencicipi hidup bahagia. Karena tidak setiap manusia tahu bagaimana merengkuh kebahagiaan.

Kebahagiaan tergantung pada pola hidup. Islam menganjurkan pola hidup zuhud. Apakah zuhud itu? Zuhud terumuskan dalam dua kalimat Alquran. ''Supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu.'' (QS Al-Hadid: 23).

Ada dua ciri zahid (individu yang menjadikan zuhud sebagai pola hidup). Pertama, zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimiliki. Bila bahagia ditambatkan pada kendaraan yang dimiliki, kala kendaraan itu tergores, hilanglah bahagia yang bersemayam di dada. Jika hati dilabuhkan pada yang dimiliki, maka saat apa yang dimiliki itu terlepas dari genggaman, terlepaslah kebahagiaannya.

Kedua, kebahagiaan zahid tidak terletak pada materi, tapi pada dataran spiritual. Hidup akan menjelma menjadi guyonan yang mengerikan bila makna bahagia disandarkan pada benda. Sebab, benda hanya menunggu waktu untuk lenyap.

''Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.'' (QS Al-Rahman: 26-27). Hakikat zuhud bukanlah meninggalkan dunia, namun tidak meletakkan hati padanya. Zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. ''Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, kecuali seperti seorang yang memasukkan jarinya dalam lautan besar, maka perhatikan berapa dapatnya. (HR Muslim).

Oleh sebab itu, zuhud dalam kehidupan dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal. ''Zuhud terhadap kehidupan dunia tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti dari apa yang ada pada Allah SWT dan hendaklah engkau bergembira memperoleh pahala musibah yang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu.'' (HR Ahmad).

Dalam hadis Qudsi, diriwayatkan, ''Allah berfirman wahai dunia, berkhidmatlah kepada orang yang telah berkhidmat kepada-Ku, dan perbudaklah orang yang mengabdi kepadamu. (HR Al-Qudlai).

Ringkasnya, rumus hidup bahagia adalah kemampuan memilih nikmat yang abadi di atas kenikmatan yang fana. Bagaimana supaya baju zuhud dapat dikenakan? Dalam Nashaih Al-Ibad, Syaikh Nawawi al-Bantani menceritakan kisah Ibrahim bin Adham tentang mencapai zuhud.

Beliau menjawab, ''Ada tiga sebab. Saya melihat kuburan itu mengerikan, sedangakan belum kudapati pelipur (atasnya). Saya melihat jarak perjalanan amatlah jauh, padahal belum kumiliki bekal, dan saya melihat Allah yang Maha perkasa akan mengadili, padahal belum kudapati alasan (untuk mengelak dari hukumannya).''


(M Subhi-Ibrahim, HIKMAH - REPUBLIKA )
Read On 0 komentar

Memuliakan Anak Perempuan

'Barangsiapa mempunyai anak perempuan, tidak dikuburkannya anak itu hidup-hidup, tidak dihinakannya, dan tidak dilebihkannya anaknya laki-laki dari perempuan itu, maka Allah memasukannya ke dalam surga dengan sebab dia.'' (HR Abu Dawud).

Di masa Rasulullah, ada seroang ibu miskin membawa kedua putrinya ke hadapan Aisyah. Aisyah kemudian memberinya tiga kurma. Ibu miskin ini membagikan masing-masing satu kurma untuk anaknya dan sisanya untuk dirinya. Kedua anaknya makan dengan sangat lahap. Ketika sang ibu hendak memakan kurmanya, tiba-tiba kedua anaknya mencegahnya. Melihat kedua putrinya masih lapar, ibu miskin itu tidak memakan kurmanya dan malah membagi kurma menjadi dua bagian untuk masing-masing anaknya.

Aisyah mengadukan hal ini pada Rasulullah yang lalu bersabda, ''Barangsiapa yang ada padanya tiga orang anak perempuan dia bersabar dalam mengasuhnya, dalam susahnya dan dalam senangnya, dia akan dimasukkan Allah ke dalam surga, karena rahmat Allah terhadap anak-anak itu.''

Seorang laki-laki kemudian bertanya, ''Bagaimana kalau hanya dua, ya Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Dan berdua pun begitu juga.'' Datang pula seorang laki-laki bertanya, ''Bagaimana kalau hanya satu orang?'' Beliau menjawab, ''Satu orang pun begitu juga!'' (HR Al Hakim dari Abu Hurairah).

Dari hadis Rasulullah kita memahami betapa Islam sangat memuliakan anak perempuan. Seorang anak perempuan yang diasuh, dididik, dibina, diberikan penghidupan layak, tak dibedakan dengan anak laki-laki, tumbuh menjadi sosok solihah mampu membawa kedua orang tuanya ke surga.

Rasulullah secara khusus bersabda pada umatnya tentang keberuntungan anak perempuan dan memiliki saudara atau kerabat perempuan. ''Barang siapa yang mengeluarkan belanja untuk dua anak perempuan, atau dua saudara perempuan, atau kaum kerabat perempuan yang patut disediakan belanja untuk keduanya, sehingga keduanya diberi Allah kecukupan atau kemampuan, jadilah keduanya itu dinding (pelindung) dari neraka.'' (HR. Ibnu Hibban dan At Thabrani).

Memang Islam sudah mengangkat harkat martabat perempuan, namun dalam pelaksanaannya di masyarakat, terkadang sebuah keluarga dianggap belum sempurna tanpa kehadiran anak laki-laki. Anak perempuan masih dipandang sebelah mata.

Menurut sebuah data, 1,4-2,1 juta perempuan Indonesia bekerja di luar negeri. Sering terdengar penganiayaan terhadap mereka. Belum lagi, sebanyak 240 ribu bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Saatnya menebar peduli bagi mereka.


(Aris Solikhah )
Read On 0 komentar

Istri Sholihah

Istri yang shalehah adalah yang mampu menghadirkan kebahagiaan di depan mata suaminya, walau hanya sekadar dengan pandangan mata kepadanya. Seorang istri diharapkan bisa menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilannya, memperindah keadaannya di depan suami tercinta. Dengan demikian, suami akan merasa tenteram bila ada bersamanya.

Mendapatkan istri shalehah adalah idaman setiap lelaki. Karena memiliki istri yang shalehah lebih baik dari dunia beserta isinya. ''Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalehah.'' (HR Muslim dan Ibnu Majah).

Di antara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami bila dilihat. Rasulullah bersabda, ''Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya, selain istri yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.'' (HR Ibnu Majah).

Kedua, amanah. Rasulullah bersabda, ''Ada tiga macam keberuntungan (bagi seorang lelaki), yaitu: pertama, mempunyai istri yang shalehah, kalau kamu lihat melegakan dan kalau kamu tinggal pergi ia amanah serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu ...'' (HR Hakim).

Ketiga, istri shalehah mampu memberikan suasana teduh dan ketenangan berpikir dan berperasaan bagi suaminya. Allah SWT berfirman, ''Di antara tanda kekuasaan-Nya, yaitu Dia menciptakan pasangan untuk diri kamu dari jenis kamu sendiri, agar kamu dapat memperoleh ketenangan bersamanya. Sungguh di dalam hati yang demikian itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.''(QS Ar Rum [30]: 21).

Beruntunglah bagi setiap lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisa membantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberi pertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.'' (HR Thabrani dan Hakim).

Namun, istri shalehah hadir untuk mendampingi suami yang juga shaleh. Kita, para suami, tidak bisa menuntut istri menjadi 'yang terbaik', sementara kita sendiri berlaku tidak baik. Mari memperbaiki diri untuk menjadi imam ideal bagi keluarga kita masing-masing.

(Bahron Anshori )
Read On 0 komentar

Makna Tawadhu’

Ta’rif Tawadhu’:
Yaitu sikap merendahkan dan menghinakan diri kepada yang berhak yaitu ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi, juga kepada orang-orang yang ALLAH SWT perintahkan kita untuk bersikap tawadhu’ pada mereka seperti kepada para Nabi SAW, para Imam dan qiyadah, para hakim, para ulama, dan orangtua.

Adapun bersikap tawadhu’ pada semua makhluq maka hukum asalnya bahwa perbuatan tersebut terpuji jika diniatkan untuk mencari ridha ALLAH SWT. Sabda Nabi SAW: “Tidak akan pernah berkurang harta karena bersedekah, dan tidaklah seorang hamba bersikap pemaaf kecuali akan ditambah kemuliannya oleh ALLAH SWT, dan tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu’ kecuali akan diangkat derajatnya oleh ALLAH SWT.” [2] Sedangkan bersikap tawadhu’ pada ahli dunia dan orang zhalim maka hal tersebut bertentangan dengan sikap ‘izzah.

Tawadhu’ lebih umum dari khusyu’, karena ia mencakup pada sesama hamba dan pada Sang Pemilik hamba, sedangkan khusyu’ tidak boleh dilakukan kecuali hanya pada Pemilik hamba saja.

Berkata al-Fudhail rahimahullah: “Tawadhu’ adalah sikap menerima kebenaran dan melaksanakannya dan menerima kebenaran tersebut dari siapapun datangnya.”

Berkata ‘Atha: “Yaitu sikap menerima kebenaran dari manapun datangnya, sikap ‘izzah adalah bagian dari tawadhu’ juga, tetapi sikap sombong bukan bagian dari tawadhu’, barangsiapa mencari-cari kemungkinan bersikap sombong dari tawadhu’ sama seperti seorang yang mencoba mencari air di dalam api.”

Berkata seorang ‘alim saat menasihati putranya: “Wahai ananda, hiasilah ketinggianmu dengan sikap tawadhu’, sikap kemuliaan dengan agama dan ambillah sifat pemaaf dari ALLAH SWT dengan bersikap pemaaf juga pada semua manusia.”

Seorang yang mutawadhi’ yaitu seorang yang tumbuh dalam dirinya kerendahan dan ketinggian semata-mata karena keimanannya pada ALLAH SWT, yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan, harga diri, harta dan potensi yang dimilikinya atau orang lain. Sebab kemuliaan dan kehinaannya semata-mata karena pengetahuannya yang luas tentang hubungan dirinya dan seluruh makhluq kepada ALLAH yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, ..dan DIA adalah Maha Berkuasa di atas semua hamba-NYA.. [3] Sehingga ia merasa tidak akan mampu keluar dari hukuman dan kekuasaan ALLAH SWT dan kerajaan-NYA .. Wahai semua Jin dan manusia seandainya kalian mampu menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah, tetapi ketahuilah bahwa kalian tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan ALLAH .. [4]

Sehingga ia sangat menyadari kebutuhannya dan kefakirannya terhadap ALLAH SWT dan pengampunan-NYA saat ia membaca ..Sesungguhnya ALLAH-lah yang Maha Kaya dan kalian semua adalah para fuqara.. [5] Dan iapun menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari ALLAH SWT ..Dan tidaklah semua nikmat yang sampai kepadamu kecuali dari ALLAH .. Sehingga karena semua pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya sikap sombong dan merasa lebih, karena telah meresapnya keyakinan yang menghunjam ke dalam hatinya, sehingga Pemiliknya memujinya ..Dan hamba-hamba ar-Rahman itu ialah yang berjalan dimuka bumi ini dengan merendahkan diri, dan jika ia ditegur oleh orang-orang jahil maka ia mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.. [6] Berkata al-Hasan: Seorang ulama adalah lemah lembut, berkata Muhammad bin al-Hanafiyyah: Para sahabat nabi SAW itu adalah orang yang jika dicaci diri mereka maka mereka menjawab dengan lemah lembut, sehingga berfirman ALLAH SWT memuji sikap mereka ..mereka itu bersikap lemah lembut pada sesama mu’min dan bersikap tegas kepada orang-orang kafir.. [7] Sehingga berkata ‘Atha: Mereka kepada orang-orang mu’min adalah seperti seorang ayah pada anak-anak mereka, tetapi kepada orang-orang kafir seperti seperti harimau pada mangsanya.

Berkata Ibnu Mas’ud ra: Bersabda Nabi SAW: Tidak akan masuk jannah orang yang dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan. [8] Juga telah berkata SAW: Maukah kalian aku kabarkan tentang ahli neraka? Yaitu orang-orang yang pencela, keras hati dan sombong. [9] Dan telah bersabda Nabi SAW: Maukah aku kabarkan pada kalian orang-orang yang neraka diharamkan atas mereka? Yaitu mereka yang lembut perkataannya, halus budinya dan mudah dalam segala hal. [10]

Jenis-Jenis Tawadhu’

Hendaknya seorang da’i bersikap tawadhu’ terhadap kebenaran, merendahkan diri padanya dan tunduk padanya dan tidak berusaha mendebat pada kebenaran tersebut walaupun tidak ia sukai, karena SAW telah menafsirkan kesombongan dalam sabdanya sbb: Sombong itu ialah menutupi kebenaran dan menipu manusia [11]. Oleh karenanya jika ada sebuah ketentuan syariat yang shahih tapi terasa berat atau tidak masuk akal olehmu, maka ketahuilah bahwa semua itu karena kelemahan dan kebodohanmu semata-mata, karena ilmu ALLAH SWT itu teramat luas dan tiada berbatas, sementara kemampuan dan kapasitas manusia demikian kecil dan sempit takkan mampu menyelami semua hikmah-NYA, maka jangan sekali-kali kamu bersikap takabbur dan menolaknya.

1. Bersikap tawadhu’ pada agama: Yaitu menerima semua apa yang bersumber dari ALLAH SWT dan Rasul-NYA, dengan tunduk dan pasrah sebulat-bulatnya.

a. Tidak menolak sedikitpun baik akalnya, perasaannya, maupun perbuatannya.

b. Tidak meragukan dalil agama tersebut dengan sangkaan bahwa dalil tersebut tidak masuk akal, kurang, atau tidak sempurna; melainkan sebaliknya ia langsung merasa mungkin kefahamannya, akalnya atau pemikirannya yang kurang atau belum memiliki ilmu tentang hal tersebut.

c. Tidak mencari-cari jalan lain yang berbeda dengan dalil tersebut baik dalam batinnya, lisannya atau perbuatannya, karena hal tersebut merupakan sifat orang munafiq.

2. Ridha terhadap apa yang diridhai oleh kebenaran, maka jadilah ia sebagai budak ALLAH SWT dan saudara bagi orang muslim dan tidaklah bermusuhan dengan kebenaran itu setitikpun.

3. Segera menjadikan kebenaran itu bagian dari dirinya, baik dalam pemikirannya maupun perbuatannya.

Seorang yang Tawadhu’ adalah Sangat Mengenal Rabb-nya

Sebagaimana perkataan Abubakar ra: Janganlah salah seorang di antara kalian meremehkan seorang muslim, karena semakin kecil seorang muslim di mata kalian maka ia semakin besar dimata ALLAH.

Seorang yang tawadhu’ sangat mengenal Rabb-nya maka saat ia berkumpul dengan orang-orang yang lemah, atau miskin atau hina maka ia pun ingat firman Tuhannya: Maka bersabarlah kalian bersama-sama orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan petang hari karena menginginkan keridhoan-NYA dan janganlah kalian palingkan mata kalian dari mereka karena menginginkan perhiasan dunia, dan janganlah kalian taati orang-orang yang hati mereka telah KAMI kunci dari mengingat KAMI dan mereka selalu mengikuti hawa nafsu dan adalah kehidupan mereka itu melampuai batas. [12]

Demikian banyak perintah Rabbnya untuk senantiasa bersikap tawadhu’ di antaranya: Dan janganlah kalian berjalan di atas bumi ini dengan menyombongkan diri, karena kalian tidak akan mampu menembus bumi atau menjulang setinggi gunung [13]. Dalam ayat yang lain: Negeri akhirat itu KAMI jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan di muka bumi dan kerusakan [14]. Dan derajat tawadhu’ tersebut yaitu:

1. Tidak mendahului sesama muslim, dalam berjalan, berbicara, berpendapat dsb melainkan selalu berada di belakangnya kecuali jika berada di depan tersebut memang dibutuhkan oleh Islam dan kaum muslimin.

2. Agar ia menyampaikan ilmunya dalam majlis jika tidak ada yang lebih mengetahui, tetapi jika ada yang lebih mengetahui maka hendaklah ia mempersilakan orang tersebut dan ia diam mendengarkan kecuali jika ada kesalahan.

3. Hendaklah ia menemui orang lain dengan gembira dan lemah lembut dan menanyakan keperluannya jika membutuhkan tanpa merasa lebih dari orang tersebut.

4. Hendaklah sering duduk-duduk diantara orang faqir, miskin, sakit dan mendoakan mereka.

5. Hendaklah makan dan minum tanpa berlebihan, demikian pula dalam berpakaian.

Di Antara Contoh Ketawadhu’an Rasulullah SAW

Adalah Anas ra jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu mengucapkan salam pada mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal tersebut ia menjawab: Aku melihat kekasihku Nabi SAW senantiasa berbuat demikian. [15]

Dari abi Rifa’ah Tamim bin Usaid ra berkata: Aku datang pada Nabi SAW saat beliau SAW sedang berkhutbah, maka aku berteriak: Wahai Rasul ALLAH! Seorang asing datang ingin bertanya tentang agama karena ia tidak mengerti agama! Maka beliau SAW bersegera menghampiriku dan meninggalkan khutbahnya lalu didudukkannya aku di kursi agar aku beristirahat lalu diajarkannya dari ayat-ayat ALLAH, lalu setelah aku puas barulah ia kembali ketempatnya dan meneruskan khutbahnya. [16]

Dari Anas ra bahwa adalah Nabi SAW jika makan makanan maka ia menggunakan 3 jarinya, dan ia SAW bersabda: Jika jatuh suapan kalian maka ambil dan bersihkanlah, dan jangan kalian tinggalkan untuk syaithan. Dan beliau SAW juga memerintahkan kami untuk menjilat jemari tangan, beliau bersabda: Karena kalian tidak mengetahui di mana ALLAH SWT meletakkan barakah-NYA dalam makanan kalian. [17]

Dari abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: Tidaklah ALLAH SWT mengutus seorang nabi kecuali pernah menjadi penggembala kambing. Lalu sahabat ra bertanya: Lalu bagaimana dengan anda wahai Rasulullah? Jawab Nabi SAW: Ya, aku pun dulu menggembala kambing untuk dengan upah beberapa qirath bagi penduduk Makkah. [18] Dan dari abu Hurairah ra juga berkata: Bersabda Nabi SAW: Seandainya aku diundang makan walau hanya sesuap maka pasti aku mau, dan seandainya ada yang memberiku hadiah walau segenggam maka pasti aku terima. [19]

Dari Anas ra berkata: Nabi SAW memiliki seekor unta yang diberi nama al-’adhba` yang tidak terkalahkan larinya, maka datang seorang ‘a’rabiy dengan untanya dan mampu mengalahkan, maka hati kaum muslimin terpukul menyaksikan hal tersebut sampai hal itu diketahui oleh nabi SAW, maka beliau bersabda: Menjadi haq ALLAH jika ada sesuatu yang meninggikan diri di dunia pasti akan direndahkan-NYA. [20]

Abu Said al-Khudarii ra pernah berkata: Jadilah kalian seperti Nabi SAW, beliau SAW menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu-pembantunya, memberi mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan memikulnya sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang tua maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang berpapasan baik tua maupun anak, kulit hitam, merah, maupun putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanjang termasuk orang yang suka shalat.

Dan beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut perangainya, dermawan luar biasa, indah perilakunya, selalu berseri-seri wajahnya, murah senyum pada siapa saja, sangat tawadhu’ tapi tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak berlebih-lebihan, mudah iba hatinya, sangat penyayang pada semua muslimin. Beliau SAW datang sendiri menjenguk orang sakit, menghadiri penguburan, berkunjung baik mengendarai keledai maupun berjalan kaki, mengabulkan undangan dari para hamba sahaya siapapun dan dimanapun. Bahkan ketika kekuasaannya SAW telah meliputi jazirah Arabia yang besar datang seorang ‘A’rabiy menghadap beliau SAW dengan gemetar seluruh tubuhnya, maka beliau SAW yang mulia segera menghampiri orang tersebut dan berkata: Tenanglah, tenanglah, saya ini bukan Raja, saya hanyalah anak seorang wanita Quraisy yang biasa makan daging kering. [21]

Teladan Yang Tinggi dari Sifat Tawadhu’

Umar bin Abdul Aziz saat menjabat khalifah pernah suatu malam kedatangan tamu, saat itu ia sedang menulis, sementara pelita hampir habis minyaknya maka ia permisi untuk mengambil minyak, maka tamunya berkata: Apakah khalifah mengambilkan minyak karena aku? Jawab khalifah: Bukan seorang yang mulia jika tidak memuliakan tamunya. Maka kata tamunya: Tidakkah Anda membangunkan pelayan anda? Jawab khalifah: Ia lelah karena bekerja seharian. Maka berangkatlah ia ke gudang untuk mencari minyak, lalu dituangnya sendiri dari gentong minyak ke tempatnya lalu dibawanya dengan tangan dan bajunya bernoda bekas minyak. Maka kata tamunya: Anda lakukan sendiri hal ini wahai amirul mu’minin? Maka ia menjawab: Diamlah, aku ini hanyalah seorang Umar tidak berkurang sedikitpun, dan sebaik-baik manusia adalah yang disisi ALLAH SWT tercatat sebagai seorang yang tawadhu’.

Juga pernah salah seorang putra Umar bin Abdul Aziz membeli cincin seharga 1000 dirham, maka saat terdengar oleh Umar mk ia menulis surat: Telah sampai kabar kepadaku bahwa kamu telah membeli cincin dengan harga sekian, maka apabila sampai suratku ini juallah cincin tersebut dan kenyangkan 1000 orang dengan uangmu itu, lalu belilah cincin seharga 2 dirham saja. Ketika putranya telah melakukan apa yang dimintanya maka ia menulis surat: Segala puji bagi ALLAH yang telah mengingatkan putra Ibnu Abdul Aziz akan kadar dirinya.

Al-Hasan ra pernah berjalan dan bertemu dengan beberapa hamba sahaya yang sedang memakan roti kering tanpa lauk, maka ia turun untuk ikut makan bersama orang-orang miskin tersebut, lalu setelah itu ia membantu mengangkatkan barang-barang yang dibawanya, lalu diajaknya ke rumahnya untuk makan bersama. Lalu ketika orang-orang merasa kagum atas hal tersebut ia berkata: Mereka lebih mulia dariku, karena mereka menjamuku dengan semua yang mereka miliki, sedangkan aku hanya menjamu mereka dari sebagian kecil yang aku miliki.

Kebutuhan Da’i akan Tawadhu’

Seorang da’i lebih membutuhkan sifat ini daripada yang lain. Kenapa? Karena ia ingin memperbaiki manusia, maka sebelum ia memperbaiki orang lain ia harus menjadi contoh bagi masyarakat tentang berbagai akhlaq Islam yang mulia. Dan karena sifat manusia tidak akan menerima perkataan siapapun jika disampaikan dengan disertai perasaan lebih tinggi atau lebih baik dari si penyampai walaupun kata-katanya itu benar. Maka hendaklah seorang da’i saat berbicara menghindari banyak menyebut kata “saya” dan “saya”, hendaklah disadarinya bahwa apa yang dimiliki dan ada pada dirinya semua adalah dari dan milik ALLAH SWT. Maka hendaklah ia berkata dan bercerita banyak tentang keutamaan dan ketinggian ALLAH dan menjauh dari menceritakan tentang kelebihan dan ketinggian dirinya sendiri. Hal ini juga terlebih-lebih kepada orang yang lebih ‘alim atau pemimpinnya dalam jama’ah, janganlah sekali-kali ia merasa lebih baik dan lebih layak dari pemimpinnya, hendaklah diingatnya bahwa Nabi SAW pernah mengangkat Usamah ra yang masih sangat muda, sementara pasukannya adalah para sahabat senior dari Muhajirin dan Anshar, dan saat sebagian dari pasukan tersebut meragukan kepemimpinan Usamah, maka beliau SAW marah dan bersabda: Jika kalian mencela kepemimpinannya maka berarti kalian juga mencela kepemimpinan ayahnya sebelumnya! Demi ALLAH, ia adalah orang yang paling layak untuk memimpin pasukan dan ia adalah orang yang paling aku cintai, dan ia juga tetap adalah yang paling aku cintai sepeninggalku nanti. [22]

Oleh sebab itu, maka seorang da’i yang faqih setiap ia mendapatkan kesuksesan, keberhasilan dan pertolongan dalam dakwahnya maka akan semakin tawadhu’ dan makin meyakini kebesaran dan kekuasaan Penciptanya. Demikianlah Nabi kita SAW telah berhasil menaklukkan Makkah dengan gilang gemilang, tapi pada saat penaklukan tersebut beliau SAW menundukkan kepalanya sampai hampir-hampir menyentuh punggung untanya sambil mengulang-ulang ayat: Inna fatahna laka fathan mubina.. Beliau SAW meyakini bahwa semua kemenangan dan keberhasilan yang diperolehnya adalah semata-mata karunia ALLAH SWT.

WaLLAAHu a’lamu Bish Shawaab…

Al-Ikhwan.net | 21 August 2007 | 8 Syaban 1428 H | Hits: 2,354
Abi AbduLLAAH

Catatan Kaki:

[1] Sumber dari Kitab Mamarrat Al-Haq, juz ats-Tsalits al-Ba’ disusun oleh DR. Ra’id Abdul Hadi.

[2] Dikeluarkan oleh Muslim (hadits no. 2588).

[3] QS al-An’aam-18.

[4] QS ar-Rahman-33.

[5] QS Muhammad-38.

[6] QS al-Furqan-63.

[7] QS al-Maidah-54.

[8] Mukhtashar Shahih Muslim-54.

[9] HR Bukhari dalam Fathul Bari’-4118.

[10] HR Tirmidzi-2488, ini adalah lafzh darinya dan Ahmad 1/415 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah-938).

[11] Merupakan kepanjangan dari hadits Ibnu Mas’ud tadi.

[12] QS al-Kahfi-28.

[13] QS al-Isra-37.

[14] QS al-Qashshash-83.

[15] HR Bukhari (Fathul Bari’-6247).

[16] HR Muslim-876.

[17] HR Muslim-2034, dan ini adalah lafzhnya, dan juga abu Daud-3845.

[18] HR Bukhari (Fathul Bari’-2262).

[19] HR Bukhari (Fathul Bari’-2568).

[20] HR Bukhari (Fathul Bari’-2872).

[21] HR Ibnu Majah-3312 dari abu Mas’ud al-Badariiy, berkata al-Bushiriy dalam az-Zawa’id bahwa sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir-6929.

[22] HR Bukhari dalam Fathul Bari’-4496 dan HR Muslim-2426.
Read On 0 komentar

Makna Zuhud

Bismillahirrahmaanirrahiim …

Ketahuilah bahwa cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, sedangkan zuhud terhadap dunia merupakan maqom yang mulia. Dan yang dimaksud dengan zuhud adalah memalingkan diri dari sesuatu yang disukai demi untuk sesuatu yang lebih baik. Telah ma’ruf bahwa yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan dunia, barangsiapa yang meninggalkan segala sesuatu selain ALLAH maka disebut zahid yang sempurna.

Bukanlah yang disebut Zuhud itu meninggalkan harta, tetapi yang disebut zuhud itu meninggalkan dunia karena tahu kerusakannya dan berpaling pada akhirat yang kekal. Firman ALLAH SWT: “Apa-apa yang di sisimu akan sirna, dan apa yang disisi ALLAH kan kekal” (QS An-Nahl 16/96). Berkata al-Fudhail: ALLAH menciptakan keburukan dalam satu rumah dan menjadikan cinta dunia sebagai kuncinya, dan ALLAH menciptakan kebaikan dalam satu rumah dan menjadikan Zuhud sebagai kuncinya.

Tingkatan Zuhud ada 3, yang pertama adalah orang yang berusaha untuk Zuhud terhadap dunia dan ia merasa berat, tetapi ia terus berusaha sekuat tenaga, orang ini disebut sebagai mutazahhid dan ini tingkatan yang terendah. Tingkatan kedua adalah ia telah mampu zuhud dengan sukarela tanpa harus menguras kemampuan, tetapi ia dapat melihat kezuhudannya dan dapat merasakan bahwa ia telah meninggalkan dunia dan merasa senang karenanya. Sementara derajat ketiga dan yang tertinggi adalah yang zuhud dengan mudah, dan ia sudah demikian zuhud sehingga merasa biasa saja dengan kezuhudannya karena ia sudah merasa bahwa dunia itu tidak ada nilainya sedikitpun, maka jadilah ia seperti orang yang membuang kotoran dan pergi tanpa menoleh ataupun mengingat lagi, padahal dunia jika dibandingkan dengan sampah masih lebih hina lagi nilainya

Zuhud dilakukan terhadap berbagai hal sbb:
  1. Zuhud terhadap makanan, dalam hadits Nabi SAW disebutkan kata A’isyah ra kepada keponakannya ‘Urwah: “Telah berlalu atas kami bulan baru, bulan baru, bulan baru (3 bulan) sementara tidak pernah menyala api di dapur rumah Nabi SAW dan keluarganya, maka ditanyakan oleh ‘Urwah: Wahai bibinda maka dengan apa kalian makan? Dijawab: Dengan air dan kurma.” (HR Bukhari 8/121 dan Muslim 8/217)
  2. Zuhud terhadap pakaian, diriwayatkan dari Abi Bardah: “Telah keluar A’isyah ra pada kami membawa sehelai selendang kasar dan selembar kain keras sambil berkata: Telah dibungkus jasad Nabi SAW dengan kain seperti ini.” (HR Bukhari 7/195, Muslim 6/145, Abu Daud 4036 dan Turmudzi 1733) Dan berkata Al-Hasan ra: Umar ra pernah berkhutbah saat ia menjabat presiden sementara di bajunya aku hitung ada 12 bekas jahitan.
  3. Zuhud terhadap tempat tinggal, dalam hadits disebutkan: “Seorang muslim diberi pahala dari semua harta yang dinafkahkannya, kecuali dari apa yang dibuatnya dari tanah ini (bangunan).” (HR Ibnu Maajah 4163), berkata al-Hasan ra: Aku jika memasuki rumah Nabi SAW, maka kepalaku menyentuh atap daun kurmanya.
  4. Zuhud dalam alat rumah tangga, dalam hadits disebutkan kata Umar ra: “Saya masuk ke dalam rumah Nabi SAW, sedang ia bertelekan pada sebuah tikar kasar sehingga berbekas pada tubuhnya, maka aku melihat pada perabotannya hanya kulihat segenggam tepung sebanyak 1 sha’.” (HR Bukhari 7/38, Muslim 4/189, 191)
Zuhud yang terbaik menurut Ibnul Mubarak adalah yang menyembunyikan kezuhudannya dari manusia, ciri-cirinya adalah:
  1. Ia tidak merasa senang dengan adanya sesuatu dan tidak merasa sedih dengan ketiadaannya, sebagaimana firman ALLAH SWT: “Agar engkau tidak berputus asa atas apa yang hilang darimu dan merasa senang dengan apa yang ada padamu.” (QS al-Hadiid 23) Dan inilah zuhud dalam harta.
  2. Sama baginya dicela atau dipuji, ini merupakan tanda zuhud terhadap kedudukan.
  3. Sangat dekat ia dengan ALLAH, dan hatinya dikuasai kelezatan taat pada ALLAH SWT.
Ketahuilah bahwa antara cinta pada ALLAH dengan cinta pada dunia sebagaimana air dengan udara dalam sebuah bejana, jika air masuk maka udara akan keluar dari bejana itu sebanyak air yang masuk, maka ada bejana yang dipenuhi air, 2/3 nya, 1/2 nya, dan seterusnya sampai ada yang kosong sama sekali dari air. Maka dimanakah letak hatimu ?!

In uriidu illal ishlaaha mas tatho’tu …

Abi Abdillah
ikhwan.net

Disarikan dari Kitab Mukhtashar Minhaajul Qaasidiin, Syaikh Ahmad bin Abdirrahman bin Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah
Read On 0 komentar

Makna Amanah

“Sesungguhnya KAMI telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka semua enggan memikulnya karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh…” (QS 33/72)

MAKNA AMANAH
  1. Secara Bahasa: Bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan).
  2. Secara Definisi: Seorang muslim memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT: “Sesungguhnya ALLAH memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan-titipan kepada yang memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar menghukumi dengan adil…” (QS 4/58)
Maka yang termasuk amanah bukan hanya dalam hal materi atau hal yang berkaitan dengan kebendaan saja, melainkan berkaitan dengan segala hal, seperti memenuhi tuntutan ALLAH adalah amanah, bergaul dengan manusia dengan cara yang terbaik adalah amanah, demikian seterusnya.

DALIL-DALIL SYARIAT
  1. Al-Qur’an: Kedua firman ALLAH SWT di atas (QS 4/58; 33/72) dan QS 2/283; 8/27; 23/8; 70/32.
  2. As-Sunnah:
  • “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat, seorang pemimpin pemerintahan adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya, suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang anggota keluarganya, istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rumah tangga suaminya serta anak-anaknya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang harta benda majikannya, ingatlah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih, dalam Lu’lu wal Marjan hadits no. 1199)
  • “Ada 4 perkara yang jika semuanya ada pada dirimu maka tidak berbahaya bagimu apa yang terlepas darimu dalam dunia: Benar ketika berbicara, menjaga amanah, sempurna dalam akhlaq, menjaga diri dari meminta.” (HR Ahmad dalam musnadnya 2/177; Hakim dalam al-Mustadrak 4/314 dari Ibnu Umar ra; berkata Imam al-Mundziri ttg hadits ini: Telah meriwayatkan Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Thabrani, Baihaqi dengan sanad yang hasan, lih. At-Targhib wa Tarhib 3/589)
HUBUNGAN AMANAH DENGAN KEIMANAN
  • Amanah Merupakan Tuntutan Iman, dan khianat merupakan tanda hilangnya keimanan dan mulai merasuknya kekafiran dalam diri seseorang. Sabda nabi SAW: “Tidak ada iman pada orang-orang yang tidak ada amanah dalam dirinya, dan tidak ada agama pada orang yang tidak bisa dipegang janjinya.” (HR Ahmad 3/135, Ibnu Hibban dalam shahihnya Mawarid azh-Zham’an-47, al-Bazzar dalam musnadnya Kasyful Astar-100, lih. Juga dalam Albani Shahih Jami’ Shaghir-7056)
  • Hilangnya Amanah Merupakan Tanda Kiamat, yang salah satu cirinya adalah dipegangnya amanah oleh yang orang-orang bukan ahlinya dalam masalah tersebut. Sabda nabi SAW: “Ketika amanah telah disia-siakan maka tunggulah tibanya Kiamat.” Kata para sahabat ra: Bagaimanakah disia-siakannya wahai rasuluLLAH? Jawab nabi SAW: “Ketika suatu urusan dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya Kiamat.’” (HR Bukhari dalam Fathul Bari’ hadits no. 59 dan 6496)
  • Hilangnya Amanah Terjadi Bertahap, sebagaimana sabda nabi SAW: “Seorang tertidur maka hilanglah amanah dari hatinya bagaikan titik hitam, lalu ketika ia tertidur lagi maka hilanglah amanah tersebut bagaikan bekas/jejak, demikianlah seterusnya sampai tidak ada lagi amanah dihatinya, dan tidak ada lagi di hati manusia, sehingga mereka tidak menemukan lagi orang yang amanah. Maka berkatalah sebagian mereka: Di tempat anu masih ada seorang yang bisa dipercaya. Sampai dikatakan kepada seseorang: Ia tidak bisa dipegang, tidak berakal, tidak ada dihati mereka sebesar biji sawi dari keimanan.” (HR Muslim dalam Mukhtashar Shahih Muslim hadits no. 2035)
JENIS-JENIS AMANAH

Islam adalah agama yang sempurna, ia adalah sistem yang mencakup IPOLEKSOSBUDHANKAM (Idiologi, POLitik, Ekonomi, SOSial BUDaya serta pertaHANan dan KeAManan). Islam tidak hanya bicara aqidah atau ibadah saja melainkan ia adalah sebuah sistem yang paripurna mencakup aqidah dan ibadah, agama dan negara, peradaban dan pedang.

Oleh karenanya maka amanah yang dibebankan ALLAH SWT atas seorang muslim adalah mengarahkan semua sistem di atas agar sesuai dengan aturan ALLAH SWT, dan membebaskan manusia dari penyembahan manusia atas manusia dalam seluruh aspek kehidupan menuju penyembahan kepada ALLAH SWT saja, tiada sekutu bagi-NYA, untuk-NYA kita beramal dan kepada-NYA kita akan kembali.

Oleh karena itu maka amanah yang diberikan kepada manusia adalah sebagai berikut:
  1. Amanah Fithrah: Yaitu amanah yang diberikan oleh Sang Pencipta SWT sejak manusia dalam rahim ibunya, bahkan jauh sejak dimasa alam azali, yaitu mengakui bahwa ALLAH SWT sebagai RABB/Pencipta, Pemelihara dan Pembimbing (QS 7/172).
  2. Amanah Syari’ah/Din: Yaitu untuk tunduk patuh pada aturan ALLAH SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, barangsiapa yang tidak mematuhi amanah ini maka ia zhalim pada dirinya sendiri, dan bodoh terhadap dirinya, maka jika ia bodoh terhadap dirinya maka ia akan bodoh terhadap RABB-nya (QS 33/72).
  3. Amanah Hukum/Keadilan: Amanah ini merupakan amanah untuk menegakkan hukum ALLAH SWT secara adil baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath (ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/berkurangan).
  4. Amanah Ekonomi: Yaitu bermu’amalah dan menegakkan sistem ekonomi yang sesuai dengan aturan syariat Islam, dan menggantikan ekonomi yang bertentangan dengan syariat serta memperbaiki kurang sesuai dengan syariat (QS 2/283).
  5. Amanah Sosial: Yaitu bergaul dengan menegakkan sistem kemasyarakatan yang Islami, jauh dari tradisi yang bertentangan dengan nilai Islam, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menepati janji serta saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang (QS 23/8).
  6. Amanah Pertahanan dan Kemanan: Yaitu membina fisik dan mental, dan mempersiapkan kekuatan yang dimiliki agar bangsa, negara dan ummat tidak dijajah oleh imperialisme kapitalis maupun komunis dan berbagai musuh Islam lainnya (QS 8/27).

Ya muqallibal quluub tsabbit quluubanaa ‘alaa diinika…

Abi Abdillah
al-ikhwan.net
Read On 0 komentar

Rahasia Zuhud

Al-Hasan Al-Bashri ditanya: "Apa rahasia zuhud Anda di dunia?.."
Dia menjawab; "ada empat perkara,

aku yakin, bahwa rezekiku tidak akan diambil oleh orang lain, sehingga hatiku merasa tenang.

aku yakin, bahwa amalku tidak akan dapat digantikan dan ditebus oleh orang lain, maka akupun sibuk memperbanyak amalku.

aku yakin, bahwa sesungguhnya Alloh SWT pasti mengawasi segala perbuatanku, maka aku pun malu bila Dia melihatku bermaksiat.

aku yakin, bahwa sesungguhnya kematian itu pasti selalu mengintaiku, maka akupun mempersiapkan segala bekal untuk menghadapinya. (tjd-dbs)


www.ikadi.org
Read On 0 komentar

Jihad Seorang Ibu

Rasulullah SAW bersabda, ''Setiap jerih payah istri di rumah sama nilainya dengan jerih payah suami di medan jihad.'' (HR Bukhari dan Muslim). Pada dasarnya, Islam telah memberikan keistimewaan kepada para istri untuk tetap berada di rumahnya. Untuk mendapatkan surga-Nya kelak, para istri cukup berjuang di rumah tangganya dengan ikhlas. Tetesan keringat mereka di dapur dinilai sama dengan darah mujahid di medan perang.

Menjadi ibu rumah tangga kedengarannya memang sepele dan remeh, hanya berkecimpung dengan urusan rumah dari A-Z, namun siapa sangka banyak sekali kebaikan dan hikmah yang dapat diperoleh. Ibulah yang mengambil porsi terbesar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi.

Pertumbuhan suatu generasi bangsa pertama kali berada di buaian para ibu. Di tangan ibu pula pendidikan anak ditanamkan dari usia dini, dan berkat keuletan dan ketulusan ibu jualah bermunculan generasi-generasi berkualitas dan bermanfaat bagi bangsa dan agama.

Dalam Islam, ini adalah tugas besar, namun sangat mulia dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ''Seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Sayangnya, kebanyakan wanita modern saat ini tidak menyukai aktivitas rumah tangga. Mereka lebih bangga bekerja di luar rumah karena beranggapan tinggal di rumah identik dengan ketidakmandirian dan ketidakberdayaan ekonomi. Maka, jadilah peran ibu di rumah dianggap rendah, dan tidak sedikit ibu rumah tangga yang malu-malu ketika ditanya apa pekerjaannya.

Meskipun seorang wanita tidak bekerja setelah lulus sarjana, ilmunya tidak akan sia-sia, sebab ia akan menjadi ibu sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Kebiasaan berpikir ilmiah yang ia dapatkan dari proses belajar di bangku kuliah itulah yang akan membedakannya dalam mendidik anak. Seorang ibu memang harus cerdas dan berkualitas, sebab kewajiban mengurus anak tidak sebatas memberi makan.

Ia harus mampu merawat dan mendidik anak-anaknya dengan benar, penuh kasih sayang, kesabaran, menempanya dengan nilai dan norma agama agar sang anak mampu menghindar dari pengaruh lingkungan dan kemajuan teknologi yang merusak akal dan akhlaknya. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh seorang ibu yang cerdas.

Republika,
Oleh : Siti Yuliati
Read On 0 komentar

Tawadhu (Rendah Hati)

"Tiada satu pun karunia yang diperoleh seseorang yang bersikap tawadhu kepada Allah, kecuali Allah meninggikan derajatnya." (HR Muslim).

Hadis di atas menjamin ganjaran yang bakal diterima seseorang jika tawadhu. Menghilangkan kesombongan, tinggi hati, merasa hebat, dan segudang penyakit hati lainnya. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun seberat biji sawi." (HR Abu Dawud).

Manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Pemahaman yang benar terhadap hal tersebut seharusnya tidak melahirkan orang kaya yang merasa lebih hebat dibanding lainnya. Pejabat merasa lebih terhormat ketimbang rakyat biasa, kiai merasa lebih benar daripada santrinya, atau generasi tua merasa lebih tahu ketimbang yang muda.

Hadis di atas seharusnya cukup membuat kita sadar dan takut. Shalat, puasa, zakat, haji, dan segudang amal saleh lainnya tidak menjamin kita masuk surga jika di dalam hati kita masih ada setitik kesombongan.

Bahkan, pejabat setingkat presiden pun tidak berhak sombong. Hal ini dikisahkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah. Diceritakan seseorang yang gemetar ketakutan ketika menemui Rasulullah yang dipersepsikan sebagai raja diraja. Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh hina engkau.

Sesungguhnya, aku bukanlah seorang raja. Aku hanyalah anak seorang wanita yang memakan dendeng di Makkah." Subhanallah, betapa agungnya ketawadhuan Nabi SAW. Muhammad bin Abdullah yang seorang Nabi, kepala negara, kepala pemerintahan, raja, panglima militer, pengusaha sukses, pendidik, dan manusia yang dijamin masuk surga tidak membuatnya sombong sedikit pun.

Ketawadhuan beliaulah yang patut diteladani, diikuti, dan ditiru. Seperti telah disebut dalam Alquran surat Alahzab ayat 21, "Sesungguhnya, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang berharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."

Marilah membuang jauh-jauh kesombongan dalam menjalani hidup yang singkat ini, seberapa pun hebatnya kita. Karena, sesungguhnya kekayaan, jabatan, ilmu, tubuh yang sempurna, wajah cantik, kecerdasan, dan bahkan anak istri kita adalah milik Allah yang dititipkan pada kita.

Sesungguhnya, orang yang berlaku tawadhu zaman sekarang ini sangatlah sedikit. Apakah kita termasuk di antara mereka?

Republika
Oleh : Karyanto Wibowo
Read On 0 komentar

Tanggung Jawab Dalam Islam

Oleh: Dr. H. Achmad Satori Ismail, MA

Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa khalifah rasyidin ke V Umar bin Abdil Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya membaca ayat 22-24 dari surat ashshoffat

احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ(22)مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ(23)وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ(24)

yang artinya : (Kepada para malaikat diperintahkan) “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman sejawat merekadan sembah-sembahan yangselalu mereka sembah, selain Allah: maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya mereka akan ditanya ( dimntai pertanggungjawaban ).”

Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di akhirat bila telab melakukan kedzaliman. Dalam riwayat lain Umar bin Khatab r.a. mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhiarat nanti dengan kata-katanya yang terkenal : “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya : Mengapa tidak meratakan jalan untuknya ?” Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para salafus sholih tentang tanggungjawab pemimpin di hadapan Allah kelak.

Pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat seperti ayat 164 surat Al An’am

وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (164)

Artinya: “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ(38)

Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telahdiperbuatnya”
Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal ?

Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.

Allah SWT menyatakan

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ(12)

Artinya: Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yaasiin 12).

Ayat ini menegaskan bahwa tanggangjawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh , kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwa Orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An nahl 25

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ(25)

Artinya: “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”

Di sini kita merenung sejenak seraya bertanya: “apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memilik kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karrena mereka dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus menaggung dosanya walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut ?” Menurut hemat saya, seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama raksyat masih bisa memiliki kehendak yang aada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua perbuatannya. Alquran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. Allah menyatakan sbb.

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَالَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا(66)وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا(67)

: “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami , lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (Al ahzab 66-67).

Allah membantah mereka dengan tegas

وَلَنْ يَنْفَعَكُمُ الْيَوْمَ إِذْ ظَلَمْتُمْ أَنَّكُمْ فِي الْعَذَابِ مُشْتَرِكُونَ(39)

: “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri . Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu. (Az Zukhruf 39).

Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa yang lahiriyahnya. Oleh sebab itu rakyat atau bawahanpun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya kendati di sana ada perintah dan larangan pimpinan.

Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Hal ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk Islam di paksa harus murtad seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir dst. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran. (lihat An Nahl 106 dan An Nisa’ 97-99)

Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan kewajiban yang dibebankan padanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka semakin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah sbb.; “Wahai orang-orang mukmin peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At Tahrim 6) Sebagaimana yang ditegaskan Rasululah saw : “ Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya..”(Al Hadit)

Tanggungjawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimnitai pertanggungjawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seroang mukmin yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan mempeprbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus sholih banyak yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah atas semua perbuatannya disamping seluruh apa yang terjadi pada rakyat yang dipimpinnya. Baik dan buruknya prilaku dan keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilihseorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu.

Seorang penguasa tidak akan terlepas dari beban berat tersebut kecuali bila selalu melakukan kontrol, mereformasi yang rusak pada rakyatnya , menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan menggantinya dengan orang yang sholeh. Perrtolongan allah tergantung niat sesuai dengan firman Allah

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ(11)

Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah akan ditunjuki hatinya danAllah Maha Mengetahui ats segala sesuatu. (At Taghobun 11)

Wallahu a’lamu.

sumber : www.ikadi.org
Read On 0 komentar
 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009