Ada ungkapan menarik dari Ibnu Atha'ilah dalam kitab Hikam, Apabila engkau menuntut pahala untuk sesuatu amal perbuatan, pasti engkau juga akan dituntut kesempurnaan dan keikhlasanmu dalam perbuatan itu. Dan bagi seorang yang belum merasa sempurna, harus merasa puas jika ia telah selamat dari tuntutan.
Saudaraku, seringkali kita menuntut dan berharap kepada Allah untuk mengabulkan segala permintaan kita. Andaikata kita menuntut upah kepada Allah dari amal kebaikan kita, maka Allah pun akan menuntut kesempurnaan dan keikhlasan dari amal-amal kita. Bila demikian, sanggupkah kita memenuhi tuntutan tersebut? Sungguh berat untuk kita lakukan.
Maka, daripada menuntut Allah memberikan upah dan pahala, lebih baik kita menuntut diri menyempurnakan amal-amal yang kita lakukan. Insya Allah ketika kita bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik untuk Allah, maka Allah pun akan memberikan upah terbaik pula bagi kita, tanpa diminta. Jumlahnya pun lebih banyak dari yang kita minta. Sebab, barangsiapa yang bersungguh-sungguh kepada Allah, maka Allah pun akan lebih bersungguh-sungguh kepadanya.
Sebenarnya, diterimanya amal yang kita lakukan saja, sudah merupakan keberuntungan yang teramat besar, walau tanpa disertai upah. Ibnu Atha'ilah menegaskan kembali, Jangan menuntut upah terhadap amal perbuatan yang kau sendiri tidak ikut berbuat, cukup besar balasan (upah) Allah bagimu, jika Allah menerima amal itu.
Di sinilah terjadi perubahan paradigma berpikir. Kebahagiaan kita bukan lagi dari menerima hasil, kebahagiaan kita terletak pada proses menjalankan amal dengan cara terbaik. Maka, daripada sibuk memikirkan pahala shalat, lebih baik kita memikirkan bagaimana agar shalat kita bisa khusyuk, tepat waktu, berjamaah di masjid, dan berada pad shaf terdepan. Daripada memikirkan limpahan rezeki buah dari sedekah, lebih baik kita berpikir bagaimana kita bisa ikhlas bersedekah dan memberikan barang terbaik. Daripada memikirkan dapat memasuki pintu Ar Rayyan di surga, lebih baik kita berpikir dan berusaha melakukan shaum terbaik. Sehingga tidak hanya menahan lapar dan haus saja, tapi juga menahan pancaindra, hati dan pikiran dari yang diharamkan Allah. Demikian seterusnya.
Bila tahapan ini berhasil kita lalui, di mana terjadi pergeseran paradigma berpikir, maka kita akan mendapatkan anugerah berikutnya, yaitu kebahagiaan dan rasa syukur karena Allah masih memberikan kesempatan bagi kita untuk beramal. Difirmankan dalam QS Ash Shaaffaat [37] ayat 96, Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. Ibrahim Al Laqqany menguatkan, Dan Allah-lah yang menjadikan hamba dan segala perbuatannya. Dia pula yang memberikan taufik untuk siapa yang akan sampai (mendekat) kepada-Nya.
Saudaraku, Allah Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya. Dia akan mencurahkan rahmat dan kemuliaan kepada mereka yang ikhlas dijalan-Nya. Ketika kita bersyukur atas kesempatan yang Allah berikan, dan kita memandang kecil (sekecil-kecilnya) amal tersebut, saat itu pula Allah akan membesarkan amal-amal kita dan memuliakan kita di hadapan makhluk. Salah satunya, Jika Allah akan menunjukkan karunia-Nya kepadamu, maka ia akan menjadikan dan menamakan amal kebaikan itu perbuatanmu.
Misal, Allah memampukan kita bersedekah, kemudian orang-orang menganggap kita ahli sedekah. Padahal tanpa izin dan karunia Allah, proses sedekah tidak akan pernah terjadi. Karena kasih sayang-Nya, kita dipandang baik orang lain. Aib-aib kita pun Allah sembunyikan dari pandangan mereka. Begitulah, Allah yang berbuat, kita yang disebut! Wallahu a'lam.
Tabloid Jumat REPUBLIKA
Posting Komentar