Makkah, bulan Rajab tahun ketujuh Sebelum Hijrah (SH)/615 M. Di tengah kegelapan malam yang mencekam, 11 pria dan empat wanita sahabat Rasulullah SAW mengendapendap meninggalkan Makkah. Dua perahu yang terapung di Pelabuhan Shuaibah siap mengantarkan mereka menuju ke sebuah negeri untuk menghindari kemurkaan dan kebiadaban kafir quraisy.
Negeri yang mereka tuju itu bernama Abessinia dan kini dikenal sebagai Ethiopia - sebuah kerajaan di daratan Benua Afrika. Para sahabat itu hijrah ke Abessinia atas saran Rasulullah SAW.
Inilah proses hijrah pertama yang dilakukan kaum Muslimin, sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Di antara sahabat yang hijrah ke Ethiopia itu antara lain; Usman bin Affan beserta isterinya Ruqayyah yang juga puteri Rasulullah SAW serta sahabat dekat lainnya.
Perjalanan para sahabat ke negeri Ethiopia itu dipimpin Usman bin Maz’un. Setelah mengarungi ganasnya gelombang Laut Merah, lima belas sahabat Rasulullah itu akhirnya terdampar di Ethiopia yang kala itu dipimpin seorang raja bernama Najasyi orang Arab menyebutnya Ashama ibnu Abjar.
Mereka disambut dengan penuh keramahan dan persahabatan. Inilah kali pertama ajaran Islam tiba di Afrika. Raja Ethopia lalu menempatkan mereka di Negash yang terletak di sebelah utara Provinsi Tigray. Wilayah itu lalu menjadi pusat penyebaran Islam di Ethiopia yang masuk dalam bagian Afrika Timur. Setelah tiga bulan menetap di Ethiopia dan mendapat perlindungan, para sahabat mencoba kembali pulang ke kampung halamannya, Makkah. Namun, situasi keamanan Makkah ternyata belum aman.
Rasulullah SAW lalu memerintahkan umat Muslim untuk kembali ke Ethiopia untuk yang kedua kalinya. Jumlah sahabat yang hijrah pada gelombang kedua itu terdiri dari 80 sahabat. Rasulullah pun berpesan kepada para sahabat untuk menghormati dan menjaga Ethiopia. Orang kafir Quraisy lalu mengirimkan utusannya, Amr bin Ash dan Imarah bin Walid menghadap Raja Ethiopia. Keduanya meminta agar Raja Najasyi mengusir umat Islam dari tanah Ethiopia.
Permintaan orang kafir Quraisy itu ditolak raja Ethopia dan para sahabat tetap tinggal di negeri itu hingga Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Tak semua sahabat kembali berkumpul dengan Rasulullah SAW, sebagian di antara mereka memutuskan untuk menetap di Ethiopia. Mereka lalu menyebarkan agama Islam di wilayah Timur ‘benua Hitam’ itu.
Perlahan namun pasti agama Islam pun mulai berkembang di Ethiopia. Pada mulanya, Islam berkembang di wilayah pesisir selatan Afrika, khususnya dari Somalia. Setelah itu banyak penduduk Ethiopia yang memutuskan untuk memeluk agama Islam. Berkembang pesatnya agama Islam di Ethiopia tak berjalan mulus dan mendapatkan perlawanan dari Umat Nasrani yang berada di wilayah utara Ethiopia seperti Amhara, Tigray, serta Oromo.
Meskipun orang-orang Oromo seharihari mempraktikan tradisi Waaqa yang dipengaruhi budaya Islam, kenyataannya mereka tak suka Islam berkembang di Ethiopia. Sejarawan Ulrich Braukamper berkomentar, ‘’Ekspansi yang dilakukan orang non-Muslim Oromo yang dilakukan selama berabad-abad di wilayah selatan Ethiopia bertujuan untuk menghapuskan Islam dari kawasan itu.’’
Namun, upaya itu tak pernah berhasil. Hingga kini Islam tetap eksis dan menjadi agama terbesar kedua di Ethiopia, setelah Nasrani. Berdasarkan sensus pada tahun 1994, jumlah penduduk Muslim di Ethiopia mencapai 32,8 persen dari total populasi di negera itu. Mayoritas umat Islam di negeri itu kebanyakan berada di Somalia, Afar, serta Oromo. Selain itu, umat Islam juga tersebar di Amhara, Tigray, dan Gurage.
Umat Islam mencapai kejayaannya di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani itu, saat mampu mendirikan kesultanan Muslim. Beberapa kesultanan Muslim yang pernah berkuasa di Ethiopia itu antara lain; Kesultanan Adal di timur Ethiopia; Kesultanan Aussa di timur laut Ethiopia; Kesultanan Harar di timur Ethiopia; Kesultanan Ifat di timur Ethiopia; serta Kesultanan Shewa di Ethiopia tengah.
Setelah meredupnya kejayaan kesultanan Muslim di Ethiopia, posisi umat Islam kian terhimpit. Kondisi mengenaskan itu mulai terjadi ketika di penghujung 1890-an, Raja Yohanes IV mengeluarkan kebijakan untuk mengkristenkan Ethiopia. Akibat kebijakan yang diwarnai kekejian itu, banyak umat Muslim yang akhirnya memiliki keyakinan ganda. Siang hari mereka berpurapura mengaku Kristen, namun pada malam hari mereka menjadi Islam dan melakukan ibadah.
Prinsip ini dalam Islam dikenal dengan nama Taqiah atau menyembunyikan keyakinan diri demi keselamatan diri. Strategi kaum Muslim Ethiopia yang menutupi keyakinan yang sebenarnya itu ditulis secara menarik oleh Najib Kailani dalam novelnya yang berjudul Bayang-Bayang Hitam. Sebagian Muslim yang tak mau taqiah (menyembunyikan keyakinan), akhirnya memilih hijrah ke tempat lain.
Mereka mulai membanjiri wilayah perbatasan menuju Hijaz. Namun, ada juga yang tak mau taqiah tapi tetap menetap di Ethiopia. Mereka yang memilih sikap untuk menunjukkan jati diri keislamannya itu lalu disebut penguasa sebagai pemberontak. Mereka adalah umat Islam yang tak mau kompromi dengan urusan tauhid dan iman.
Para ulama dan umat Islam pun bangkit menolak perlakukan Raja Yohanes IV. Ulama pertama yang angkat senjata melawan kebijakan penghapusan Islam dari Ethiopia itu adalah Ali Adam. Ulama yang disegani itu memulai perjuangannya di Shawa. Bersama pengikutnya, dia dihadang tentara bentukan Raja Yohanes IV di Wahelo, kawasan sebelah barat laut danau Hayk. Di tempat ini Shaikh Ali Adam dan pengikutnya syahid.
Setelah Syaikh Ali Adam, muncul Thalha. Dia memimpin perlawanan terhadap pemaksaan pemurtadan. Dia juga yang menentang perintah membangun gereja yang ditujukan kepada umat Islam. Pemberontakan mengakibatkan gereja yang dibangun umat Islam hancur berantakan. Kelompoknya juga berhasil mengalahkan pasukan kerajaan Yohanes yang dipimpin Ras Mikael.
Hingga kini umat Islam Ethiopia tengah berjuang untuk menuntut hak hidupnya sebagai umat beragama. Akankah toleransi dan saling hormat yang seperti yang diperlihatkan Rasulullah SAW dengan Raja Ethiopia, Najasyi, akan kembali hadir di negeri itu?
Negeri yang mereka tuju itu bernama Abessinia dan kini dikenal sebagai Ethiopia - sebuah kerajaan di daratan Benua Afrika. Para sahabat itu hijrah ke Abessinia atas saran Rasulullah SAW.
Inilah proses hijrah pertama yang dilakukan kaum Muslimin, sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Di antara sahabat yang hijrah ke Ethiopia itu antara lain; Usman bin Affan beserta isterinya Ruqayyah yang juga puteri Rasulullah SAW serta sahabat dekat lainnya.
Perjalanan para sahabat ke negeri Ethiopia itu dipimpin Usman bin Maz’un. Setelah mengarungi ganasnya gelombang Laut Merah, lima belas sahabat Rasulullah itu akhirnya terdampar di Ethiopia yang kala itu dipimpin seorang raja bernama Najasyi orang Arab menyebutnya Ashama ibnu Abjar.
Mereka disambut dengan penuh keramahan dan persahabatan. Inilah kali pertama ajaran Islam tiba di Afrika. Raja Ethopia lalu menempatkan mereka di Negash yang terletak di sebelah utara Provinsi Tigray. Wilayah itu lalu menjadi pusat penyebaran Islam di Ethiopia yang masuk dalam bagian Afrika Timur. Setelah tiga bulan menetap di Ethiopia dan mendapat perlindungan, para sahabat mencoba kembali pulang ke kampung halamannya, Makkah. Namun, situasi keamanan Makkah ternyata belum aman.
Rasulullah SAW lalu memerintahkan umat Muslim untuk kembali ke Ethiopia untuk yang kedua kalinya. Jumlah sahabat yang hijrah pada gelombang kedua itu terdiri dari 80 sahabat. Rasulullah pun berpesan kepada para sahabat untuk menghormati dan menjaga Ethiopia. Orang kafir Quraisy lalu mengirimkan utusannya, Amr bin Ash dan Imarah bin Walid menghadap Raja Ethiopia. Keduanya meminta agar Raja Najasyi mengusir umat Islam dari tanah Ethiopia.
Permintaan orang kafir Quraisy itu ditolak raja Ethopia dan para sahabat tetap tinggal di negeri itu hingga Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Tak semua sahabat kembali berkumpul dengan Rasulullah SAW, sebagian di antara mereka memutuskan untuk menetap di Ethiopia. Mereka lalu menyebarkan agama Islam di wilayah Timur ‘benua Hitam’ itu.
Perlahan namun pasti agama Islam pun mulai berkembang di Ethiopia. Pada mulanya, Islam berkembang di wilayah pesisir selatan Afrika, khususnya dari Somalia. Setelah itu banyak penduduk Ethiopia yang memutuskan untuk memeluk agama Islam. Berkembang pesatnya agama Islam di Ethiopia tak berjalan mulus dan mendapatkan perlawanan dari Umat Nasrani yang berada di wilayah utara Ethiopia seperti Amhara, Tigray, serta Oromo.
Meskipun orang-orang Oromo seharihari mempraktikan tradisi Waaqa yang dipengaruhi budaya Islam, kenyataannya mereka tak suka Islam berkembang di Ethiopia. Sejarawan Ulrich Braukamper berkomentar, ‘’Ekspansi yang dilakukan orang non-Muslim Oromo yang dilakukan selama berabad-abad di wilayah selatan Ethiopia bertujuan untuk menghapuskan Islam dari kawasan itu.’’
Namun, upaya itu tak pernah berhasil. Hingga kini Islam tetap eksis dan menjadi agama terbesar kedua di Ethiopia, setelah Nasrani. Berdasarkan sensus pada tahun 1994, jumlah penduduk Muslim di Ethiopia mencapai 32,8 persen dari total populasi di negera itu. Mayoritas umat Islam di negeri itu kebanyakan berada di Somalia, Afar, serta Oromo. Selain itu, umat Islam juga tersebar di Amhara, Tigray, dan Gurage.
Umat Islam mencapai kejayaannya di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani itu, saat mampu mendirikan kesultanan Muslim. Beberapa kesultanan Muslim yang pernah berkuasa di Ethiopia itu antara lain; Kesultanan Adal di timur Ethiopia; Kesultanan Aussa di timur laut Ethiopia; Kesultanan Harar di timur Ethiopia; Kesultanan Ifat di timur Ethiopia; serta Kesultanan Shewa di Ethiopia tengah.
Setelah meredupnya kejayaan kesultanan Muslim di Ethiopia, posisi umat Islam kian terhimpit. Kondisi mengenaskan itu mulai terjadi ketika di penghujung 1890-an, Raja Yohanes IV mengeluarkan kebijakan untuk mengkristenkan Ethiopia. Akibat kebijakan yang diwarnai kekejian itu, banyak umat Muslim yang akhirnya memiliki keyakinan ganda. Siang hari mereka berpurapura mengaku Kristen, namun pada malam hari mereka menjadi Islam dan melakukan ibadah.
Prinsip ini dalam Islam dikenal dengan nama Taqiah atau menyembunyikan keyakinan diri demi keselamatan diri. Strategi kaum Muslim Ethiopia yang menutupi keyakinan yang sebenarnya itu ditulis secara menarik oleh Najib Kailani dalam novelnya yang berjudul Bayang-Bayang Hitam. Sebagian Muslim yang tak mau taqiah (menyembunyikan keyakinan), akhirnya memilih hijrah ke tempat lain.
Mereka mulai membanjiri wilayah perbatasan menuju Hijaz. Namun, ada juga yang tak mau taqiah tapi tetap menetap di Ethiopia. Mereka yang memilih sikap untuk menunjukkan jati diri keislamannya itu lalu disebut penguasa sebagai pemberontak. Mereka adalah umat Islam yang tak mau kompromi dengan urusan tauhid dan iman.
Para ulama dan umat Islam pun bangkit menolak perlakukan Raja Yohanes IV. Ulama pertama yang angkat senjata melawan kebijakan penghapusan Islam dari Ethiopia itu adalah Ali Adam. Ulama yang disegani itu memulai perjuangannya di Shawa. Bersama pengikutnya, dia dihadang tentara bentukan Raja Yohanes IV di Wahelo, kawasan sebelah barat laut danau Hayk. Di tempat ini Shaikh Ali Adam dan pengikutnya syahid.
Setelah Syaikh Ali Adam, muncul Thalha. Dia memimpin perlawanan terhadap pemaksaan pemurtadan. Dia juga yang menentang perintah membangun gereja yang ditujukan kepada umat Islam. Pemberontakan mengakibatkan gereja yang dibangun umat Islam hancur berantakan. Kelompoknya juga berhasil mengalahkan pasukan kerajaan Yohanes yang dipimpin Ras Mikael.
Hingga kini umat Islam Ethiopia tengah berjuang untuk menuntut hak hidupnya sebagai umat beragama. Akankah toleransi dan saling hormat yang seperti yang diperlihatkan Rasulullah SAW dengan Raja Ethiopia, Najasyi, akan kembali hadir di negeri itu?
heri ruslan
Republika
Posting Komentar