Berbeda dengan saudara-saudara Quraisy-nya yang lain yang rata-rata kaya raya dan merupakan kalangan bangsawan terkemuka. Abu Thalib yang merupakan paman nabi justru hidup kekurangan. Namun meski kurang mampu, Abu Thalib memiliki keluarga yang sangat besar sehingga ia kesulitan untuk menafkahi semua anggota keluarganya. Apalagi ketika Makkah didera kekeringan hebat yang membuat banyak orang kelaparan.
Pada saat kekeringan hebat itulah, Muhammad -- sebelum menjadi Rasul Allah -- berkata kepada pamannya yang lain, yaitu Abbas, untuk membantu kehidupan keluarga Abu Thalib. Bersama Abbas, Muhammad mengambil alih sebagian tanggungan Abu Thalib atas keluarganya.
Abu Thalib pun setuju dan merelakan anaknya diasuh oleh Muhammad dan Abbas. Muhammad mengambil Ali bin Abi Thalib sebagai tanggungannya, sementara Abbas mengambil Jafar bin Abi Thalib bersamanya. Anak yang lain, Aqeel, tetap diasuh Abu Thalib.
Dari sekian banyak keluarga klan Hashim, Jafar merupakan satu di antara lima anggota klan ini yang memiliki banyak kemiripan (secara fisik) dengan Muhammad SAW. Empat pria lainnya dari klan Hashim yang memiliki banyak kemiripan dengan Rasulullah SAW adalah Abu Sufyan bin Al Harist dan Qutham bin Al Abbas, keduanya adalah sepupu Rasulullah SAW. Juga As Saib bin Ubaid dan Hasan bin Ali yang merupakan cucu Rasulullah putera Ali dan Fatimah.
Setelah diangkat, Jafar tinggal bersama pamannya Abbas hingga ia beranjak dewasa. Setelah itu ia menikahi Asma binti Umays, saudara dari Maimunah yang kemudian menjadi istri Rasulullah. Bersama isterinya, Jafar menjadi salah seorang sahabat Rasul yang pertama kali masuk Islam.
Karena keyakinan dan keteguhan hatinya dengan Islam, orang Quraisy menjadikan kehidupan sosial pasangan ini sangat sulit. Orang Quraisy juga mencoba menhalangi keduanya untuk menjalankan ibadah.
Jafar kemudian pergi bertemu Rasulullah SAW dan meminta izin untuk pergi berhijrah ke Abyssinia (sekarang Ethiopia) bersama beberapa orang sahabat. Dengan penuh kesedihan, Rasulullah SAW pun memberikan izin kepada Jafar.
Kelompok Muhajirin yang dipimpin Jafar bin Abi Thalib ini kemudian meninggalkan Makkah dan pergi menuju Abbysinia. Di kota ini mereka hidup di bawah perlindungan Negus, pemimpin wilayah ini. Untuk pertama kalinya sejak menjadi Muslim, mereka menikmati kebebasan baik untuk mengakui agamanya dan melakukan ibadah tanpa diganggu.
Ketika berita kepergian kelompok ini diketahui orang Quraisy, mereka menjadi sangat marah. Apalagi mengetahui bahwa kelompok Muslim ini menjalani kehidupan yang aman dan damai di bawah perlindungan Negus. Karena itulah, orang Quraisy segara membuat rencana ekstradisi yang akan mengirim para Muslimin yang hijrah ini masuk penjara di Makkah.
Orang Quraisy kemudian mengirim dua orang wakilnya yang paling hebat yaitu Amr bin Al-Aas dan Abdullah bin Abi Rabiah. Keduanya dibekali dengan banyak hadiah dan wanita yang akan diberikan kepada Negus dan para wakilnya. Segala upaya dilakukan keduanya termasuk memfitnah umat Islam dan mengadudombanya dengan Negus.
Namun upaya mereka gagal. Di hadapan Negus dan para wakilnya, dengan fasih dan lancar, Jafar menjelaskan keyakinan yang ia anut bersama umat Islam lainnya. Ia menjelaskan alasan ketertarikannya pada Islam dan kenapa ia bersama umat Islam lainnya memutuskan untuk hijrah ke Abyssinia. Jafar juga menjelaskan dengan indah ajaran Islam yang ia anut termasuk membacakan ayat Alquran dari surat Maryam.
Mendengar penjelasan itu Negus mengerti. Ia bahkan menjanjikan siapapun yang mengganggu umat Islam akan berhadapan dengannya.
Jafar dan Asma menghabiskan waktu cukup lama di Abyssinia yang menjadi rumah kedua bagi mereka. Di tempat ini, Asma melahirkan tiga putra yang diberi nama Abdullah, Muhammad, dan Awn. Putra kedua mereka yang diberi nama Muhammad menjadi pria pertama dalam sejarah Islam yang diberi nama sama dengan nama Rasulullah SAW.
Pada tahun ketujuh hijrahnya, Jafar dan keluarganya meningalkan Abyssinia bersama sekelompok Muslim untuk menuju Madinah. Ketika mereka tiba, Rasulullah SAW baru saja kembali dari perang Khaybar.
Kedatangan Jafar membawa angin segar bagi umat Islam yang miskin. Tak butuh waktu lama untuk Jafar menjadi terkenal sebagai sahabat yang peduli dengan mereka yang miskin. Karena itulah ia kemudian dijuluki sebagai "Bapak Kaum Miskin".
Abu Hurairah menyebut bahwa orang yang paling peduli dan paling siap membantu mereka yang miskin adalah Jafar bin Abi Thalib. Begitu pedulinya Jafar, jika ia menemukan ada orang yang miskin dan kelaparan, ia akan segera pulang ke rumah dan memberi orang itu makanan yang ia punya, bahkan jika itu membuatnya harus menghabiskan jatah makannya.
Jafar tinggal di Madinah tidak terlalu lama. Pada awal tahun kedelapan, Rasulullah SAW memobilisasi pasukan untuk menghadapi pasukan Byzantinum di Suriah. Rasulullah SAW berencana menyerang pasukan ini karena salah satu sahabat yang dikirimnya ke Byzantinum untuk misi damai dibunuh dengan keji oleh gubernur daerah ini.
Rasulullah SAW lalu menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan. Setelah itu Rasul menyatakan bahwa jika terjadi sesuatu pada Zaid selama pertempuran maka posisi itu akan digantikan oleh Jafar bin Abi Thalib, dan jika Jafar tewas, maka posisinya akan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.
Ketika pasukan Muslim mendekati Mutah, sebuah desa kecil di dekat perbukitan Yordania, mereka menemukan bahwa pasukan Byzantinum sudah menghimpun ribuan pasukan dengan menggunakan tameng umat Kristen Arab dari suku Lakhm, Judham, Qudaah, dan suku-suku lainnya. Sementara umat Muslim hanya terdiri dari tiga ribu orang prajurit.
Meskipun tidak seimbang, namun umat Islam tetap bertarung dengan penuh semangat. Zaid bin Haritshah menjadi salah satu yang pertama syahid dalam pertempuran itu.
Sesuai perintah Rasul, Jafar bin Abi Talib kemudian yang memegang komando. dengan penuh keberanian, ia menerjang pasukan Byzantinum. Ia pun syahid.
Pada saat kekeringan hebat itulah, Muhammad -- sebelum menjadi Rasul Allah -- berkata kepada pamannya yang lain, yaitu Abbas, untuk membantu kehidupan keluarga Abu Thalib. Bersama Abbas, Muhammad mengambil alih sebagian tanggungan Abu Thalib atas keluarganya.
Abu Thalib pun setuju dan merelakan anaknya diasuh oleh Muhammad dan Abbas. Muhammad mengambil Ali bin Abi Thalib sebagai tanggungannya, sementara Abbas mengambil Jafar bin Abi Thalib bersamanya. Anak yang lain, Aqeel, tetap diasuh Abu Thalib.
Dari sekian banyak keluarga klan Hashim, Jafar merupakan satu di antara lima anggota klan ini yang memiliki banyak kemiripan (secara fisik) dengan Muhammad SAW. Empat pria lainnya dari klan Hashim yang memiliki banyak kemiripan dengan Rasulullah SAW adalah Abu Sufyan bin Al Harist dan Qutham bin Al Abbas, keduanya adalah sepupu Rasulullah SAW. Juga As Saib bin Ubaid dan Hasan bin Ali yang merupakan cucu Rasulullah putera Ali dan Fatimah.
Setelah diangkat, Jafar tinggal bersama pamannya Abbas hingga ia beranjak dewasa. Setelah itu ia menikahi Asma binti Umays, saudara dari Maimunah yang kemudian menjadi istri Rasulullah. Bersama isterinya, Jafar menjadi salah seorang sahabat Rasul yang pertama kali masuk Islam.
Karena keyakinan dan keteguhan hatinya dengan Islam, orang Quraisy menjadikan kehidupan sosial pasangan ini sangat sulit. Orang Quraisy juga mencoba menhalangi keduanya untuk menjalankan ibadah.
Jafar kemudian pergi bertemu Rasulullah SAW dan meminta izin untuk pergi berhijrah ke Abyssinia (sekarang Ethiopia) bersama beberapa orang sahabat. Dengan penuh kesedihan, Rasulullah SAW pun memberikan izin kepada Jafar.
Kelompok Muhajirin yang dipimpin Jafar bin Abi Thalib ini kemudian meninggalkan Makkah dan pergi menuju Abbysinia. Di kota ini mereka hidup di bawah perlindungan Negus, pemimpin wilayah ini. Untuk pertama kalinya sejak menjadi Muslim, mereka menikmati kebebasan baik untuk mengakui agamanya dan melakukan ibadah tanpa diganggu.
Ketika berita kepergian kelompok ini diketahui orang Quraisy, mereka menjadi sangat marah. Apalagi mengetahui bahwa kelompok Muslim ini menjalani kehidupan yang aman dan damai di bawah perlindungan Negus. Karena itulah, orang Quraisy segara membuat rencana ekstradisi yang akan mengirim para Muslimin yang hijrah ini masuk penjara di Makkah.
Orang Quraisy kemudian mengirim dua orang wakilnya yang paling hebat yaitu Amr bin Al-Aas dan Abdullah bin Abi Rabiah. Keduanya dibekali dengan banyak hadiah dan wanita yang akan diberikan kepada Negus dan para wakilnya. Segala upaya dilakukan keduanya termasuk memfitnah umat Islam dan mengadudombanya dengan Negus.
Namun upaya mereka gagal. Di hadapan Negus dan para wakilnya, dengan fasih dan lancar, Jafar menjelaskan keyakinan yang ia anut bersama umat Islam lainnya. Ia menjelaskan alasan ketertarikannya pada Islam dan kenapa ia bersama umat Islam lainnya memutuskan untuk hijrah ke Abyssinia. Jafar juga menjelaskan dengan indah ajaran Islam yang ia anut termasuk membacakan ayat Alquran dari surat Maryam.
Mendengar penjelasan itu Negus mengerti. Ia bahkan menjanjikan siapapun yang mengganggu umat Islam akan berhadapan dengannya.
Jafar dan Asma menghabiskan waktu cukup lama di Abyssinia yang menjadi rumah kedua bagi mereka. Di tempat ini, Asma melahirkan tiga putra yang diberi nama Abdullah, Muhammad, dan Awn. Putra kedua mereka yang diberi nama Muhammad menjadi pria pertama dalam sejarah Islam yang diberi nama sama dengan nama Rasulullah SAW.
Pada tahun ketujuh hijrahnya, Jafar dan keluarganya meningalkan Abyssinia bersama sekelompok Muslim untuk menuju Madinah. Ketika mereka tiba, Rasulullah SAW baru saja kembali dari perang Khaybar.
Kedatangan Jafar membawa angin segar bagi umat Islam yang miskin. Tak butuh waktu lama untuk Jafar menjadi terkenal sebagai sahabat yang peduli dengan mereka yang miskin. Karena itulah ia kemudian dijuluki sebagai "Bapak Kaum Miskin".
Abu Hurairah menyebut bahwa orang yang paling peduli dan paling siap membantu mereka yang miskin adalah Jafar bin Abi Thalib. Begitu pedulinya Jafar, jika ia menemukan ada orang yang miskin dan kelaparan, ia akan segera pulang ke rumah dan memberi orang itu makanan yang ia punya, bahkan jika itu membuatnya harus menghabiskan jatah makannya.
Jafar tinggal di Madinah tidak terlalu lama. Pada awal tahun kedelapan, Rasulullah SAW memobilisasi pasukan untuk menghadapi pasukan Byzantinum di Suriah. Rasulullah SAW berencana menyerang pasukan ini karena salah satu sahabat yang dikirimnya ke Byzantinum untuk misi damai dibunuh dengan keji oleh gubernur daerah ini.
Rasulullah SAW lalu menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan. Setelah itu Rasul menyatakan bahwa jika terjadi sesuatu pada Zaid selama pertempuran maka posisi itu akan digantikan oleh Jafar bin Abi Thalib, dan jika Jafar tewas, maka posisinya akan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.
Ketika pasukan Muslim mendekati Mutah, sebuah desa kecil di dekat perbukitan Yordania, mereka menemukan bahwa pasukan Byzantinum sudah menghimpun ribuan pasukan dengan menggunakan tameng umat Kristen Arab dari suku Lakhm, Judham, Qudaah, dan suku-suku lainnya. Sementara umat Muslim hanya terdiri dari tiga ribu orang prajurit.
Meskipun tidak seimbang, namun umat Islam tetap bertarung dengan penuh semangat. Zaid bin Haritshah menjadi salah satu yang pertama syahid dalam pertempuran itu.
Sesuai perintah Rasul, Jafar bin Abi Talib kemudian yang memegang komando. dengan penuh keberanian, ia menerjang pasukan Byzantinum. Ia pun syahid.
Tabloid Jumat REPUBLIKA
Posting Komentar