Itsar adalah mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri meski sangat membutuhkan. Ini adalah amal kedermawanan tertinggi dari diri seorang muslim. Kaum Anshar adalah contoh konkret yang dicatat sejarah sebagai pemilik sifat ini.
Setelah diizinkan Allah berhijrah, kaum muslimin Mekkah menetap di Kota Madinah. Kaum Anshar sangat antusias menerima saudara-saudara seiman mereka, kaum Muhajirin. Mereka membagi tempat tinggal dan makanan dengan senang hati. Bahkan, mengutamakan segala sesuatu bagi kaum Muhajirin melebihi diri mereka sendiri. Karena itu tak heran Allah swt. mengabadikan fenomena itu dalam Al-Qur’an.
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
An-Nu’man ibn Ajlan Al-Anshari berkata, “Kami pun menyambut kaum Muhajirin seraya berkata, ‘Selamat datang dan hidup bersama kami. Sungguh, kalian akan aman dari kefakiran karena kami akan membagi harta dan rumah kami untuk kalian.”
Begitulah yang terjadi. Kaum Anshar menjamin tempat tinggal bagi kaum Muhajirin. Kaum Anshar secara ikhlas menyerahkan rumah-rumah mereka untuk kaum Muhajirin. Ada juga yang menampung kaum Muhajirin untuk tinggal di rumah-rumah mereka. Mereka berebut tidak mau kehilangan pahala. Bahkan, mereka mengadakan undian agar kesempatan memberi bantuan terdistribusi dengan adil.
Ummu Ala’, seorang wanita Anshar yang telah membai’at Rasulullah saw., mengabarkan ke Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit bahwa Utsman ibn Mazh’un tinggal di rumah-rumah kaum Anshar secara bergantian. Bahkan, kaum Anshar sampai mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus ketempatan kaum Muhajirin.
Kaum Anshar juga membagi hasil panen mereka kepada kaum Muhajirin. Mereka mengusulkan kepada Rasulullah untuk membagikan separuh hasil panen kebun-kebun korma mereka, namun Rasulullah meminta agar mereka memberi kaum Muhajirin untuk turut serta merasakan hasil panen mereka seperlunya saja.
Bahkan, kaum Anshar sempat ingin menghibahkan setiap kelebihan mereka kepada Rasulullah saw. “Jika engkau menghendaki, ambillah rumah-rumah kami,” kata mereka. Rasulullah saw. mengucapkan terima kasih. Rasulullah saw. membangunkan tempat tinggal untuk para sahabatnya di tanah-tanah yang telah dihibahkan kaum Anshar dan menetapkan tanah itu bukan milik siapa pun.
Kaum Anshar juga banyak memberi bantuan material kepada kaum Muhajirin. Mereka menyerahkan semua itu kepada Rasulullah saw. untuk dibagikan sekehendak beliau kepada kaum Muhajirin. Anas ibn Malik berkata, seseorang dari kaum Anshar memberikan pohon-pohon korma yang telah siap panen kepada beliau. Lalu beliau memberikan semua itu kepada pembantunya, Ummu Aiman, ibunda Usamah bin Zaid.
Kedermawanan dan kemurahan hati kaum Anshar tampak pula dalam kesukaan mereka memberi hadiah. Makramah ibn Sulaiman mengatakan, “Mangkok besar Sa’ad selalu berada di hadapan Nabi saw. sejak pertama kali beliau tiba di Madinah hingga beliau wafat. Selain Sa’ad ibn Ubadah, masih banyak kaum Anshar yang melakukan hal serupa. Bahkan, para sahabat Rasulullah juga senantiasa saling memberi.”
Sa’ad ibn Rabi’ah adalah seorang Anshar. Sementara Abdurrahman ibn ‘Auf adalah seorang Muhajirin. Suatu ketika Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Aku adalah orang terkaya dari kaum Anshar. Karenanya aku akan membagi separuh hartaku kepadamu. Aku juga memiliki dua isteri, maka pilihlah mana yang paling menarik untukmu di antara keduanya. Sebutkan namanya, maka aku akan menthalaknya. Jika ‘iddahnya sudah habis, nikahilah dia!”
Tawaran itu dijawab Abdurahman, “Semoga Allah memberkahimu atas keluarga dan hartamu. Namun, cukuplah engkau tunjukkan kepadaku di manakah pasar kalian berada.” Lalu kaum Anshar menunjukkan kepada Abdurrahman pasar Bani Qainuqa. Begitulah, akhirnya Abdurrahman selalu kembali dari pasar itu dengan membawa keuntungan dari berjualan minyak samin dan keju.
Sungguh, rasa kesetiakawanan yang dimiliki kaum Anshar begitu mengagumkan. Sulit mencari bandingnya dalam lembar-lembar sejarah manapun bahwa akan ada solidaritas, persabahatan, dan kebersamaan seperti yang mereka lakukan. Bahkan, atas semua yang telah diberikan, mereka tidak menuntut kembali. Hal itu terbukti saat pasukan Rasulullah saw. berhasil mengusir Bani Nadhir dari Madinah. Kaum Anshar tidak mendapat bagian dari pampasan perang sedikitpun.
Ummul A’la Al-Anshari meriwayatkan, ketika mendapatkan rampasan perang dari Bani Nadhir, Rasulullah saw. memanggil Tsabit ibn Qais. “Datangkanlah kaummu kepadaku,” kata Rasululllah saw. Tsabit bertanya, “Kaum Khazraj-kah?” “Seluruh kaum Anshar!” tegas Rasulullah saw.
Maka Tsabit memanggil suku Aus dan Khazraj. Setelah seluruh kaum Anshar hadir, Rasulullah saw. memuji Allah dan menyebutkan kebaikan-kebaikan kaum Anshar yang telah memberikan tempat tinggal dan harta benda mereka kepada kaum Muhajirin. Juga tentang sifat mereka yang selalu mendahulukan kaum Muhajirin ketimbang diri mereka sendiri. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian suka, aku akan membagikan harta yang dititipkan Allah kepadaku dari Bani Nadhir (harta rampasan) ini untuk kalian (kaum Anshar) dan kaum Muhajirin. Adapun bagian kaum Muhajirin adakah untuk mengganti biaya hidup dan tempat tinggal yang kalian tanggung selama ini. Atau, jika kalian setuju, aku akan memberikan bagian mereka semuanya, dan setelah itu mereka harus keluar dari rumah-rumah kalian.”
Mendengar tawaran itu, Sa’ad ibn Ubadah dan Sa’ad ibn Mu’adz berkata, “Ya Rasulullah, engkau bagikan saja semua harta rampasan itu kepada Muhajirin dan biarkan mereka tetap tinggil di rumah-rumah kami seperti saat ini.”
Dan seluruh kaum Anshar yang hadir mengamini ucapan dua orang itu. Mereka berkata, “Kami rela menerima keputusan itu, ya Rasulullah.” Rasulullah saw. pun berkata, “Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar dan keturunannya.”
Lalu Rasulullah saw. membagikan semua harta pampasan perang itu secara merata kepada kaum Muhajirin. Adapun kaum Anshar, mereka tidak mendapatkan bagian, kecuali dua orang, yaitu Abu Dujanah dan Sahl ibn Hunaif yang begitu membutuhkan.
Sikap kaum Anshar itu begitu membekas dalam jiwa kaum Muhajirin. Mereka mengakui keutamaan kaum Anshar itu di hadapan Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, kami belum pernah mendatangi kaum yang sedermawan dan begitu setiakawan melebihi kaum Anshar. Mereka telah mencukupi kebutuhan hidup kami dan mengikutsertakan kami dalam setiap kegembiraan mereka. Karena itu, kami khawatir semua pahala Allah akan jatuh kepada mereka.”
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak. Niscaya kalian akan memperoleh pahala dari Allah, yatu selama kalian tetap memuji kebaikan mereka dan mendoakan mereka kepada Allah.”
Persahabatan dan solidaritas kaum Anshar itu merupakan contoh yang benar dalam berukhuwah islamiyah. Itulah ukhuwah yang sejati. Bukan hanya menjadi pemanis di bibir, tapi menjadi amal keseharian meski harus mengorbankan darah dan harta untuk mendahulukan kepentingan saudaranya dan meringankan beban mereka, meski diri mereka sendiri begitu membutuhkan.
Semoga karakter kaum Anshar ini ada di dalam diri kita. Amin.
dakwatuna.com
Posting Komentar